Argumen saya adalah ingin melihat hubungan antara 3 hal yaitu: suburbanisasi (urban sprawl), kebijakan perencanaan dan desain urban, serta ketergantungan kendaraan bermotor. Ketiganya menjadi mata rantai yang tak terputus dan seharusnya bisa dihancurkan dengan menerapkan kebijakan planning yang holistik dan kreatif. Lalu seperti apa argumen dan latar belakangnya, silakan nikmati slide dibawah ini.
Enjoy
January 27, 2013 at 6:08 am
Dear Elisa, Ikut komen ya, meskipun ini udah telat banget.
A bit messy ya, terlalu banyak yang disampaikan-sangat padat tapi point2nya nggak fokus. Memang nggak mudah , bahkan sangat sulit buat memecah mecahkan permasalahan kota Jakarta. Satu permasalahan akarnya bukan saja dikotil tapi banyak banget. Have you ever read Danang Parikesit’s writing? Cerdas dan banyak hal yang bisa dipelajari disana, bukan hanya merumuskan permasalahan spt tulisan tulisan lainnya. Tulisan beliau yang baru keluar ada mengenai perhitung cost effectiveness nya MRT,kalau saya tidak salah, atau CBA nya,kira kira .
Btw, saya kurang sreg Elisa memakai reference dari Jacobs, Newman dan Kenworthy, tanpa didampingi oleh tulisan yg bersumber dari lokal. Kurang balance aja rasanya walaupun memang cuma untuk bagian ini (rumusan mslh).
Terus, urban sprawl, urban planning and automobile dependency itu sepertinya ,seharusnya lebih banyak mengikutsertakan peranan developer di kemudian hari. Yang ini berkaitan dengan kemacetan Jakarta , yang lebih akan semakin dipengaruhi oleh traffic pulang pergi dari dan ke daerah suburban Jakarta, dan sebaliknya. Logikanya begini, dengan arus urbanisasi yang nampaknya cenderung positif bertambah setiap tahunnya, dan harga tanah di Jakarta yang semakin tinggi, serta faktor pendorong di kota kota satelit (yang saya maksud daerah suburban), penduduk dari luar Jakarta kemudian tertarik untuk membeli properti di kawasan tersebut. Sementara, mereka masih melakukan perjalanan komuter untuk kerja. Pola nya sudah jelas terlihat, dengan ditunjukannya susksesnya pasar properti di kawasan BSD, Karawaci, Tangerang, dsb. Tingginya pembangunan di daerah tersebut kayaknya belum diimbangi dengan naiknya penyerapan tenaga kerja (maaf sumber saya lupa bookmark). Developer ya tentunya yang paling diuntungkan dari hal ini, sementara belum ada peraturan khusus yang mengatur pembangunan, misalnya perumahan, atau apartment, sarana fasilitas publik, untuk suatu wilayah. Yang saya tahu hanya peraturan 1:3:6 untuk developer, tapi itupun mungkin, banyak diselewengkan ya.
Kalau sudah ada pola begitu, yang namanya traffic jam pasti bakal menjadi jadi. Nggak didisiplinkannya developer developer (banyak lah kita udah tau nama namanya, Ciputra, Summarecon,Podomoro, Lippo, dll) bakalan jadi bom waktu buat kota Jakarta. Sementara kita masih mikirin pulic transport , tapi tanpa mikirin modus perjalanan. Contoh: harus jalan kaki lumayan jauh untuk naik busway, setelah turun, biasanya jalan lagi jauh ,atau naik ojek, atau taksi buat nyambung perjalanan. Belom panas panasnya harus jalan karena trotoar gundul, asap kendaraan, debu, dll.Yang ini contohnya masih pendek, tapi lama lama , waktu perjalanan dan jarak tempuh perjalanan akibat urban sprawl ini akan bertambah. Sementara angkutan publik belum bisa mewadahi keperluan keperluan masyarakat akibatnya, yah balik lagi dong ke mobil pribadi yang praktis, dan ber ac.
Overall, saya tertarik membahas tentang kota Jakarta.
Note: bosan ya, dan ndeso banget ngeliat gambar gambar peta Jakarta, informasinya juga ketinggalan jaman. Memang seharusnya diperhatikan juga nihh sama pemprov DKI khususnya yang bagian perencanaan kota, dan kependudukan, dibikin website nya yang komplit, up to date biar gak malu maluin kalo presentasi atau bikin paper. Kalo perlu , buatin dong model kayak nearmap.com.au , admin update, gak perlu lah sebulan sekali, setaun 3kali cukup. Budget APBD buat bikin beginian murah banget lahhh, supaya ada sarana pantes buat akademisi dan para designer. researchnya 2008 masa peta atau data terakhirnya taun 2000?! Hehehe…
January 27, 2013 at 6:17 am
Terima kasih komentarnya. Tentu saya setuju dengan beberapa poin yang disampaikan, karena paper tersebut ditulis 7-8 thn yang lalu, saat referensi akan tulisan lokal cukup sulit, tdk spt sekarang.
Tentu jika ditinjau ulang akan banyak tambahan, apalagi setelah mengetahui byk studi terkait sari Sitramp 2, Jutpi 2011, mengkaitkannya dengan globalisasi real estate ( spt Lippo dgn ReIt nya, dll).
Berkat komentarnya, saya jadi melihat ke belakang dan jadi bersyukur bahwa ternyata saya tidak jalan di tempat.