Beberapa waktu lalu, Pak Darrundono mengkritik soal menjamurnya superblok di Jakarta, dan saya agak yakin tulisan mantan dosen saya itu dapat membuat kuping orang merah.
Kalau boleh saya kutip, beliau menulis begini:
Terjadinya penurunan tanah di beberapa tempat pembangunan superblok sangat memprihatinkan bagi mereka yang ingin hidup aman, sehat, dan bersih. Warga di permukiman di sekeliling bangunan raksasa juga sudah mulai mengeluh akan berkurang dan langkanya air sumur mereka.
Bagi pengembang yang telanjur meraup keuntungan, perencana yang telanjur menerima upah jasanya, dan pemerintah yang telah mengizinkan dan membuat pendapatan asli daerah (PAD) meningkat, semua itu sah-sah saja. Bahkan, membangun superblok di atas kuburan, berdekatan dengan tangsi militer, juga sah-sah saja sekalipun melanggar ketentuan rencana tata ruang.
Pembangunan Jakarta sudah telanjur berasaskan antroposentris, dengan pembangunan ekonomi sebagai panglimanya.
Penurunan tanah disebabkan penyedotan air tanah yang berlebihan. Itu terjadi karena pasokan air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang kurang 50 persen dari kebutuhan. Sementara daerah resapan telah dipenuhi proyek pembangunan oleh pengembang.
Seiring dengan penurunan tanah, intrusi air laut telah masuk hingga kawasan Setiabudi. Intrusi membahayakan fondasi bangunan-bangunan tinggi.
Dampak yang paling ringan dengan pembangunan model superblok ini adalah akan lebih banyak daerah genangan pada musim hujan akibat penurunan tanah.
Keadaan sudah seperti ini. Langkah yang dapat dilakukan adalah meneliti kembali perizinan, apakah disertai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau tidak.
Saya pun merasa terganggu lagi dengan siaran ‘iklan’ merangkap acara bincang-bincang properti di MetroTV Minggu pagi. Kali ini properti yang diangkat adalah superblok yang memakan lahan 13 hektar di bilangan Kelapa Gading.
Sang wakil dari properti yang bersangkutan dengan bangganya membanggakan bahwa properti tersebut akan berdiri mall yang konon paling besar, apartemen dengan jumlah unit ribuan dengan harga terjangkau, dan basement parkir seluas hampir 13 hektar juga, yang menghubungkan berbagai tower, mall dan ruko menjadi satu kesatuan.
Saya terpana ketika mendengar tersebut. 13 Hektar resapan air akan hilang, demi menjaga agar orang2 yang naik mobil ketika berpindah/berjalan2 antar gedung tidak kepanasan (begitu alasan sang wakil). 13 hektar areal yang mungkin sebagiannya dapat berfungsi sebagai ruang hijau pun hilang.
Seperti yang diramalkan oleh Pak Darrundono, superblok yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan sekitarnya, akan menyedot air tanah berlebihan, berlanjut ke penurunan muka tanah, dan kemudian air tanah tersebut akan tergantikan dengan air laut. Hal tersebut bukannya tak mungkin terjadi, mengingat lokasi Kelapa Gading berada di utara Jakarta.
Sia-sia lah usaha pemkot Jakarta Utara dan PT Summarecon membangun hektaran taman resapan air dan jogging track demi menanggulangi banjir besar kemarin. Karena kini, tetangga sekaligus saingan terdekatnya, justru mematikan usaha mulia mereka.
Yang lebih menarik lagi, seorang urban planner terkemuka berpandangan lain terhadap superblok. Kalau boleh saya kutip:
Guru Besar Arsitektur ITB M. Danisworo menilai kawasan properti berkonsep superblok perlu dikembangkan di Jakarta, karena bisa mengendalikan pola pertumbuhan properti yang lebih sesuai dengan desain tata ruang.
“Untuk kota seperti Jakarta, konsep superblok menjadi konsep pembangunan yang paling tepat. Di Amerika Serikat sudah memulai sekitar tahun 1960 dengan melakukan redevelopment planning dengan konsep superblok,” kata Danisworo belum lama ini.
Superblok mulai diperkenalkan di Jakarta tahun 1990 yang awalnya Sudirman Business Central District (SCBD), Mega Kuningan, Kuningan Persada, Kemayoran. Namun, superblok yang paling berkembang saat ini baru Mega Kuningan yang diikuti SCBD.
Walaupun akhirnya beliau memperingatkan perlu adanya infrastruktur yang memadai untuk mendukung keberadaan superblok.
Saya jadi ingin tahu, bagaimana jika keduanya bertemu dan memperdebatkan tentang keberadaan superblok.
November 15, 2007 at 2:16 pm
Menurut saya sebenarnya super blok itu tidak apa-apa asal mengikuti aturan lingkungan. Kenapa juga masih pakai air tanah? memang ada izin untuk deep water well tetapi harusnya tidak diijinkan di lokasi2 tertentu terutama Jakarta. Superblok itu harus memakai air PAM agar tidak menyedot air tanah karena ini pun bisa merugikan mereka sendiri dengan turunnya tanah.
November 16, 2007 at 3:12 am
Masalahnya pembangunan superblok disini satupun tidak ada yang berwawasan lingkungan.
Sebenarnya, masalah yang dianggap oleh Pak Darrun dan saya yang terjadi dalam pembangunan superblok adalah pembangunan basement secara masif, yang menutupi hampir seluruh lahan mereka.
Apabila hendak membangun basement seperti Senayan City (3lantai), dibutuhkan pengerukan tanah hingga 12 meter kedalam tanah. Dan pada saat pembuatan basement pun, terkadang ketemu air tanah, yang harus disedot keluar, agar benar-benar kering, sebelum keseluruh sisi samping dan bawah ditutupi dengan beton setebal hingga hampir 1 meter (tergantung kedalaman dan kondisi tanah).
Yang dipermasalahkan lagi, air hujan yang ada, jatuh ke perkerasan (karena seluruh site ditutupi oleh keramik, aspal, dll), dan dari situ akan mengalir ke riol kota, dan akhirnya mengalir sia-sia ke laut, atau malah membuat banjir lokasi sekitar, karena riol kota tidak sanggup menampung air yang ada (misalnya karena daya tampung riol kota yang minimal, atau riol kota tertutup sampah).
Saya agak yakin, kalau superblok itu memakai air PAM (seperti taman anggrek). Namun jika sekitarnya (hunian) menggunakan air tanah, dan air tanah tersebut tidak ada yang menggantikan (karena superblok yang bersifat hardscape, air hujanpun tidak meresap), buntutnya pun tersedot pulalah air tanah itu.
Sebuah studi lagi, seperti Grand Indonesia, yang memakan lahan hijau hotel Indonesia dan hotel Wisata. Bagi yang pernah melihat landscape hotel Indonesia yang luar biasa (yang sekarang dijadikan menara BCA), mungkin akan sedikit mengutuk proyek itu.
Dan gilanya mereka sama sekali tidak bersusah payah untuk mengganti rth yang hilang, bahkan minim pada roof garden ( sangat disayangkan, karena principal architect nya adalah RTKL).
November 16, 2007 at 3:18 am
bener juga… maklum saya bukan arsitek 🙂 tapi jadi lebih jelas bahwa si superblok itu menutup bagian samping dan bawah dengan beton sehingga air juga tidak bisa meresap.
Apakah ada solusinya? seperti resapan di samping beton2 tersebut atau yang lain? karena biar bagaimana pembangunan itu akan harus terjadi tetapi tetap mengikuti kaidah lingkungan yang baik.
November 19, 2007 at 5:13 pm
Pembangunan basement memang tidak bisa dihindari ? Namun yang ada banyak megaproyek yang lebih memilih untuk memaksimalkan lahan yang dimiliki. Contohnya paling gresnya Senayan City, yang hampir seluruh lahannya diisi basement (sampai dibawah jalan shortcut yang mereka buat).
Integrasi antara lansekap dan sumur resapan bisa menjadi solusi, sehingga rasio antara hardscape dan landscape menjadi ideal.
July 7, 2008 at 2:43 pm
Superblok memang solusi untuk lahan yang sudah kurang sedangkan penduduk semakin banyak. Itu sebabnya banyak yang mengambil contoh di kota-kota di luar negeri dimana apartemen dan superblok jadi solusi untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan di kota yang kecil.
namun yang perlu dipertanyakana, apakah dengan adanya superblok, landed house ditinggalkan dan bisa diubah menjadi ruang terbuka. Di Indonesia, superblok menjadi semacam tren properti menengah ke atas, dimana rumah yang dimiliki di sana rumah kedua, ketiga, keempat. Sedangkan rumah landed house tidak ditinggal.
Usaha pemindahan manusia dari landed house ke apartmen di Jakarta sering gagal. Apakah kali ini superblok tidak?
_dessy_
September 13, 2008 at 8:32 pm
@Dessy,
Thanks untuk komentarnya.
Sayangnya bagi kita negara berkembang dan ditilik dari budaya kita, mungkin akan sulit bila bergeser dari rumah diatas tanah ke rumah diatas rumah.
Seperti contoh menarik di Dharavi, India, ketika pemerintah yang justru ingin meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah kumuh dengan mendirikan rumah susun (dan sebagaian digratiskan) di tempat yang sangat dekat dengan lokasi daerah kumuh itu.
Tapi rumah susun itu gagal, karena masyarakat itu lebih memilih untuk tinggal di daerah kumuh (yang disebut-sebut sebagai daerah kumuh terbesar di dunia) dibandingkan harus pindah ke rumah susun.
Tapi bagaimana dengan kalangan menengah yang mungkin lebih teredukasi dibandingkan kalangan Dharavi. Justu menurut pendapat saya, akan lebih mudah bagi mereka (kalangan menengah) untuk pindah ke apartemen. Mereka tentunya memiliki awareness, prioritas dan persepsi berbeda.
Mengenai klaim bahwa kebanyakan apartemen dimiliki oleh sebagai rumah ke 4,5,6 dstnya, mungkin perlu dikaji ulang. Karena pada akhirnya pertumbuhan apartemen terjangkau dipusat kota (terutama dekat mereka kerja), menjadi alasan kepindahan mereka.