Sebagai yang lahir dan besar di era Orde Baru, bulan Mei menjadi spesial bak burung Phoenix, hancur terbakar dan kemudian lahir dari debunya.
Hidup di era itu, ada kedamaian dan kemakmuran. Kota tempat saya tinggal begitu bersih dan tertib. Tidak ada pengemis di sudut-sudut kota. Semua terlihat sejahtera di jalan-jalan utama.
Namun di saat bersamaan, terasa aura ketegangan. Ketegangan pada orang tua ketika kami merayakan Imlek dan sembayang, sesuatu yang belum saya pahami saat masih SD-SMP. Kami selalu cepat-cepat berlalu ketika membuang kembang di muara sungai, hal yang tidak dijelaskan oleh orang tua namun akhirnya saya pahami.
Namun sejalan waktu, saya mulai membuka sendiri lembaran-lembaran untuk memahami ketegangan itu sendiri. Ada banyak orang yang membaca buku-buku Pramoedya dan merasa tergugah dan terbuka matanya disaat itu. Tapi sampai saat ini saya tidak pernah membaca satupun karya Pramoedya, bukan buku-buku itu yang membuat tergugah. Pada satu hari saya melihat foto aksi penolakan relokasi di Kedung Ombo, mungkin di Majalah Tempo atau di Kompas. Foto itu diambil dari jarak jauh, dan Romo Mangun berdiri disitu. Mungkin saat itu saya kelas 6SD.
Belakangan saya tahu, betapa jahatnya pemerintah Orde Baru, dalam intimidasi, pengucilan hingga turunnya militer dalam kasus Kedung Ombo ini. Atas nama pembangunan, katanya.
Lalu bulan Mei 1998, seperti banyak yang mengalami dan ingat, kita melihat kehancuran bangsa dan kebangkitannya. Kisah itu sudah banyak diceritakan dan diulang dari beragam sudut pandang.
Dalam setahun ke belakang, akhir-akhir ini ingatan saya pada foto Romo Mangun dan Kedung Ombo itu kembali. Mungkin dimulai dari Pergub DKI Jakarta tentang 5 tertib dan tentang pemberian honor kepada TNI dan Polri dalam kegiatan penegakan ketertiban. Lalu ketika menggali soal heboh UPS pada APBD 2014, mengapa saya menemukan banyak kontribusi DKI kepada TNI dalam berbagai rupa-rupa. Ada apa ini?
Lalu Kampung Pulo, di akhir Agustus 2015. Kabar sebelum penggusuran saya ketahui dari laman facebook teman yang mengutip seruan Pak Sandyawan, seorang pejuang kemanusiaan yang lama tinggal dan berkarya di Bukit Duri. Yang kemudian saya siarkan ke twitter. Penggusuran terjadi pagi hari beberapa hari kemudian. Di sore yang sama, saya berkunjung ke Kampung Pulo. Melihat deretan kendaraan besar aparat gabungan dan deretan backhoe menghantam dan menggaruk satu persatu rumah, diiringi isak tangis beberapa orang. Di saat bersamaan, banyak keluarga mendorong gerobak, berusaha memasukkan barang-barang ke bajaj dan berusaha mencari tempat tinggal baru. Atas nama pembangunan.
Di tahun 2016, belum hilang penggusuran Kampung Pulo dan sebagian Bukit Duri, kembali Kalijodo digusur. Dimulai dari sesuatu yang absurb, kecelakaan mobil maut yang terjadi jauh dari Kalijodo. Dilanjutkan dengan perang urat syaraf di media, intimidasi, dan sebagainya. Saya melihat deretan puluhan truk aparat gabungan keluar dari KaliJodo, saya menunggu lama di perempatan Bandengan, melihat banyak sekali pasukan penggusur itu. Atas nama ruang terbuka hijau.
Kemudian Pasar Ikan, hanya butuh 9 hari dengan menggunakan strategi serupa di Kalijodo. Strategi yang menurut pemimpinnya, strategi sukses. Di pagi Senin penggusuran itu, saya hadir, sekitar jam 10 pagi, melihat backhoe menghancurkan rumah-rumah itu dari kejauhan. Melihat petugas PAM mengangkut meteran air dari rumah-rumah itu, melihat para penduduk mendorong gerobak lagi dan lagi, dan tentu deretan truk-truk aparat parkir di pinggir kanal. Atas nama wisata bahari.
Berbeda dengan Kedung Ombo yang saya melihat dari foto di majalah/koran di dalam rumah nyaman dan dekat orang tua, Kampung Pulo-Kalijodo-Pasar Ikan terjadi di depan mata saya, di era yang seharusnya berbeda, dan saya tidak berdaya. Proses tanpa dialog, mengabaikan sejarah panjang dan kehidupan yang telah lama disana, dihapus dalam sekejap seperti tak ada nilainya, seperti prilaku orang-orang kesetanan dan kalap, serta tamak.
Saya pedih ketika membaca stigma: mereka ilegal, mereka pencuri, mereka pemalas. Akhirnya mereka tidak dihargai sebagai manusia, mereka hanya dilihat dari selembar kertas tanah.
Kegilaan tidak berhenti, puncaknya saat pemakluman oleh sebagaian orang atas penggunaan aparat TNI sebagai bagian dari penggusuran. Lupa sejarah, lupa kesakitan masa lalu. Kota kejam dan fasis ini. Inikah masa depan yang kamu mau? Tidak apa kejam pada yang lain, asal sampah saya terangkat setiap hari dan jalan rusak cepat ditambal. Tidak apa ada acara-acara yang dibubarkan, asal saya bisa cepat mengurus ijin buka minimarket secara cepat. Peduli amat dengan teluk Jakarta, asal gak korupsi (katanya). Tidak apa-apa kembali ke kenyamanan semu, asal saya bisa kacaan di sungai.
Saya bak kembali ke masa pertama melihat foto Romo Mangun dan Kedung Ombo. Seperti anak kelas 6 SD tak berdaya. Sambil kebingungan mengapa kita membiarkan ini semua terjadi? Atas nama apa?
Catatan: tulisan ini janganlah dipahami sebagai menolak perbaikan administrasi dan pelayanan. Perbaikan layanan bisa sejalan juga dengan kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial, serta permusyawaratan. Perbaikan pun bisa terjadi tanpa harus mengorbankan lingkungan dan kehidupan.
May 1, 2016 at 1:12 am
Tulisannya bagus, tapi hanya satu sisi. Masih ada sisi yg lainnya, misalnya kampung pulo tiap saat bisa kebanjiran sampai atap rumah skarang direlokalisi/dipindahkan kerusun tempat tinggal yg layak. Skarang ibu survey kerusun gimana keadaannya baru ambil satu keputusan. Selamat berkarya bu.
May 1, 2016 at 1:25 am
Kenapa berasumsi bahwa saya tidak mengunjungi rusun2 tersebut hanya karena saya tidak menyebutnya? Misalnya, di hari yang sama dengan penggusuran Kampung Pulo saya langsung mengunjungi Rusunawa Cengkareng kok, karena memang jaraknya tak sampai 1 km, dan saya hanya boleh parkir di dekat rusunawa itu (dalam RS).
Lalu apakah dengan adanya rusunawa itu akan mengurangi fakta akan penggunaan kekerasan, keterlibatan TNI/Polri, dan tidak adanya proses dialog dan bahkan tidak ada dalam perencanaan)?
Inilah maksud saya sebagian pemakluman itu, saya sengaja tidak memberi contoh pemakluman, karena menunggu komentar seperti bapak. Terima kasih atas komentarnya. :).
May 1, 2016 at 2:05 am
Hanya melihat dari sisi kemanusiaan dan cara penyelesaian yg tepat menurut penulis saja..sehingga semakin membuat opini publik bermacam2..harus ada penjelasan dampak positif bagi warga yg digusur dan ada g manfaat dari perubahan fungsi lahan yg tergusur,juga dampak negatifnya harus dijelaskan jika ada*
May 1, 2016 at 3:37 am
Macam tulisan, macam pula sudut pandang dan tujuannya. Dan itu terserah penulisnya. Tujuan juga untuk refleksi dan merenung.
May 1, 2016 at 4:51 am
Saya paham tulisan ini. Benar seperti yang Penulis katakan bahwa isi artikel ini hanya bentuk opini pribadi, yang pastinya jelas tidak ditujukan untuk menawarkan solusi. Dengan bahasa umum, yaa, curhat itu bebas tentang apa saja dan tidak ada larangan.
Saya pun tidak mendapat kesan spesial dari isi tulisan ini, tidak ada hal yang baru atau mencerahkan untuk saya personal. Heran, kenapa bisa Pak Marco bilang ada bullying karena ini. Namanya juga tulisan opini, ya memang perspektifnya bias kan? Kalau ada yg tidak setuju lalu memberi kritik atau beda pendapat, apa lalu bisa disebut bullying? Ah, istilah bullying di internet ini terlalu overrated. Kalau tidak mau opininya diberi respon, sebaiknya simpan di jurnal pribadi atau non-aktifkan saja comment box serta sembunyikan data pribadi untuk menghindari feedback 🙂
P.s: Ini hanya opini saya. Tidak harus direspon. Dihapus juga silahkan. Permisi ya.
May 1, 2016 at 4:56 am
Maksudnya Pak Marco di bully itu bukan di tulisan ini kok mbak, hehehe ….
Saya sih sudah kebal sama bully2an (istilah kerennya: ad hominem), karena tahu orang yg bisanya cuma bully itu biasanya tidak punya otak untuk membalas argumen saya :). Jadi pada akhirnya cuma kasihan sih sama orang yang bisanya ad hominem saja :).
May 1, 2016 at 5:28 am
bagus tulisannya, bu, garis besarnya saya lihat mengapa tidak pernah melihat sejarah, mengapa harus selalu diulang terus itu kepedihan, kerakusan, kekuasaan, tamak, dan haus akan prestasi.
May 1, 2016 at 6:21 am
Semua tindakan bagai pedang bermata dua… waktu pulalah yg akan menjelaskan baik buruknya tindakan pemda yg terkesan tergesa-gesa…… kata koncinya adalah ” niat baik ” dari semua pihak, dan semuanya bermuara pada kepentingan yg lebih besar dimasa depan.
Pernahkah terbayang bhw dengan proses pemindahan mereka ke rusun, ribuan generasi muda akan mendapatkan tempat tinggal, lngkungan dan akses pendidikan yg lebih baik. yg nantinya akan lahir pemimpin bangsa dari antara mereka.
May 1, 2016 at 6:40 am
Jadi maklum-maklum saja ya kalau pakai militer :). Oh iya, saya penasaran, pingin tahu, kenapa pindah ke rusun itu satu-satunya solusi ya?
May 1, 2016 at 7:04 am
Bu, setau saya militer dan polisi hanya berjaga-jaga saja agar tdk terjadi cheos… emank ada terjadi baku tembak atau timpuk2an kayak pengusuran2 sblmnya? kok saya nga dengar di pemberitaan ya? Dengan penjagaan dr polisi n militer, otomatis tdk ada pihak2 yg berani menunggangi…. itu saja bu…
May 13, 2016 at 6:26 pm
Apakah ibu pernah hadir di lokasi penggusuran? Saya kebetulan hadir di Kampung Pulo, Pasar Ikan dan juga melihat iringan Kalijodo.
Saya yang tidak digusurpun merasa ketakutan dan terintimidasi dgn hadirnya truk2 militer, polisi dan personelnya.
Silakan baca tata cara dan tahapan penggusuran pasar Ikan. Militer tidak perlu menembakkan senjatanya. Kehadiran dlm raziac intimidasinya sudah menyebarkan ketakutan.
Anda sendiri bilang soal baku tembak diatas, nah sdh jelas tidak ada baku tembak (perang), buat apa mengirim tentara kesana!
May 1, 2016 at 7:40 am
Ditunggu lanjutan tulisan keduanya: usulan perbaikan pelayanan yg berkemanusiaan.
May 1, 2016 at 7:46 am
Maksudnya? Bagaimana cara utk perbaikan infrastruktur kampung tanpa perlu penggusuran? Banyak, dari jaman Ali Sadikin kayak gitu juga ada, di Yogya ada di Surabaya ada. Bahkan warga Kampung Pulo jg mengusulkan perbaikan kampung setempat dengan kampung susun. Jokowi lakukan jg dengan kampung deret.
May 2, 2016 at 3:04 am
Silakan: https://architectureurban.wordpress.com/2016/05/02/rumah-tinggal-di-tengah-jakarta/
May 1, 2016 at 5:22 pm
Rata2 org melihat sisi positif dr penggusuran. Sisi negatif diabaikan. Lalu ditotal untung ruginya… Sisi positif amat bnyk sekali (apalagi bagi masyarakat yg tdk tergusur). Tapi sisi negatif sebnrnya bisa jauh di-krgi. Kalau saja Pemprov mau memberi waktu lbh bnyk. Menurut saya, sekrg2nya setahun. Krn bnyk sekali segi kehidupan yg tersangkut di situ…. Hal lain yg bikin sedih, korban utama di sini bukan mereka yg skg tinggal di dusun rapi. Tapi mereka yg paling miskin, shg paling bodoh, tdk tahu bhw KTP Jkt sangat berguna… Mereka tdk punya KTP meski mgkn telah 20 th di situ. Mereka lah yg diusir begitu saja, krn bukan penduduk Jkt (minimal dmkn setahu saya)… Bnyk yg menutup mata mengenai soal ini. Mgkn tdk tahu, mgkn krn krg punya empati thd sesama, terutama mereka yg menderita. Paus Fransiskus selalu mengingatkan, kita akan dihakimi Tuhan bukan dengan bnyk nya kita berdoa atau ke gereja, tapi apa kita melakukan sesuatu utk membela mereka yg paling menderita, yg paling miskin.
May 5, 2016 at 4:44 pm
Sekilas pandang, pembaca langsung mengetahui bahwa ada sesuatu yang disimpan dalam di hati penulis, maaf, bukan motif konstruktif melainkan sakit hati, iri hati, mungkin dendam dan sedikit empati tanpa pemikiran panjang akan keberlangsungan kota Jakarta dan pnduduk Luar Batang
Ada beberapa hal yang ingin saya kritisi
1. Ditulisan anda yang lain, anda support pembangunan kota bertingkat dengan mengambil contoh Singapura sedangkan disini anda menentang program relokasi rusun dengan semua fasilitas yang ada, KJP, KJS, transportasi gratis, iuran murah dsb. Anda tahu kan betapa membebaninya warga Singapura berpenghasilan sederhana dalam membayar cicilan flat mereka setiap bulannya?
2. Kedua, use of force, maaf tapi saya perlu agak personal with no intention of harm, sebagai seorang ibu anda pasti mengerti bahwa mengasihi seorang anak bukan berarti memanjakan anak setiap detik di setiap hari. Kita tentu tahu bahwa menerapkan value adalah yang utama untuk kebahagiaan si anak dan seringkali, kebutaan akan nilai hanya bisa diceklikan lewat disiplin dengan kekuatan, tentu kita sama sama berharap Ahok bisa menjadi pemimpin yang seimbang, bukan otoriter yang menggunakan kekerasan karena takut kehilangan dukungan masyarakatnya namun bukan juga pemimpin lembut yang terikat kepentingan banyak pihak sehingga Jakarta jalan di tempat, ya, A Balance Leader. Di lain sisi, Ahok bukan pemimpin yang bodoh, malah sangat cerdik, mungkin anda kurang tahu tapi ia sangat paham konstitusi dan hukum yang mengatur seberapa jauh TNI dan Polri serta Satpol PP dapat dilibatkan dalam penggusuran. Jika dari segi itu yang anda kritisi, lebih baik ditujukan ke Mahkamah Konstitusi dan bukan Pemda DKI
3. Ada poin anda yang lain menyatakan program rusunawa tidak akan menyelesaikan kemiskinan dengan mengambil contoh program relokasi ghetto ke housing project di NYC. Time has proven. Memang tidak semua distrik di NYC sekarang adalah distrik yang penduduknya makmur, bebas narkotika dan crime, jika ya, mungkin Tuhan sudah datang kedua kali untuk menjadikan langit dan bumi yang baru. Namun masalahnya kemiskinan akan terus ada sampai akhir zaman, yang bisa kita lakukan adalah mengurangi semaksimal mungkin. Yang Ahok ingin gusur bukanlah warga Luar Batang bersertifikat apalagi Masjid namun kios kios yang dijadikan rumah dan bangunan diatas laut yang tidak bersertifikat untuk akhirnyan membantu penanganan banjir. Kalau mau bicara kemiskinan, apakah anda sudah cek berapa Triliun rupiah setiap tahunnya yang menjadi dampak ekonomi beruntun banjir dan kemacetan akibat banjir?
Terima kasih jika dibaca dan dipikirkan dengan matang. Saya tidak marah terhadap anda, lebih ke iba karena sepertinya tulisan anda menyiratkan sebuah luka batin terhadap Ahok, apa ada kaitannya dengan gagalnya anda sewaktu mendaftar menjadi dewan kota atau gagalnya anda mendapat atensi atas kompetensi urban developement skill anda, hanya anda dan Tuhan yang tahu.
Yang saya tahu saya sebagai warga Jakarta dari dilahirkan sampai sekarang tinggal, makan, bekerja di Jakarta, saya bukan hanya melihat, mencium atau menyentuh perubahan sejak Jakarta dipimpin Jokowi dan Ahok, perubahan itu sudah masuk ke bagian dalam jiwa saya sampai saya bisa bersama pendukung perubahan lain sama sama berkata: Maju!
May 13, 2016 at 6:22 pm
Sippp deh 🙂
Sampai kelupaan menambahkan! Kemarin itu terkagum-kagum membaca wah ada orang yang merasa kenal banget dengan saya hanya lewat tulisan saya sampai bisa menerawang saya sakit hati, dll. Saking speechless dan cuma bisa *slow clap*, saya cuma bisa bilang “sipp deh :)”
1. Saya memang mendukung pembangunan peningkatan kapasitas lantai, tapi anda sama sekali tidak jeli dalam membaca (atau saya pakai ilmu penerawangan anda deh, saya anggap anda tidak paham). Silakan baca kembali artikel Singapura ini dari awal sampai akhir: https://architectureurban.wordpress.com/2016/05/02/rumah-tinggal-di-tengah-jakarta/
dan anda akan melihat bahwa ada ketidakadilan ruang itu, bahwa yang harus ditingkatkan lantainya untuk naik keatas itu bukan orang-orang yang justru sudah tinggal di kepadatan yang sangat tinggi.
Lah memangnya kalau mereka tidak tinggal di rusun maka tidak akan mendapatkan KJP, KJS dan segala yang anda eebutkan itu? Transportasi gratis, iuran murah bagaimana? Mereka kehilangan pekerjaan dan penghasilan karena waktu tempuh bertambah banyak.
2. Silakan baca kembali foto yang saya taruh dalam tulisan ini. Use of force tidak melulu harus fisik, intimidasi dan operasi-operasi yang dilakukan diatas bisa menjadi bentuk show of force. Kalau misalnya anda percaya bahwa intimidasi adalah cara baik mendidik anak, ya saya no comment deh :). Kita berbeda mazhab disitu.
3. Lahhh, kriminalitas dll nya pindah ke ghetto yang sudah bentuknya rumah susun itu. Gimandang sih. Tapi gak penting kan soal itu, karena yang penting kemiskinan itu tidak kelihatan di muka anda kan :). Btw, yakin amat sih warga-warga disitu gak punya sertifikat? Hanya karena omongannya Pak Gubernur semata? :). http://www.rappler.com/indonesia/133141-minggu-pagi-di-tenda-darurat-kampung-akuarium-penjaringan
Terima kasih atas rasa kasihannya. Sebaiknya kasihannya dialihkan ke Jakarta saja yang semakin mundur, dari masalah kemanusiaan dan keadilan sosial. Chhers :).