Tahun 2013 silam saya berkunjung ke Center for Urban Pedagogy di Brooklyn. Dan setelahnya saya bertemu Sean Basinski, pengacara sekaligus pendiri The Street Vendors Project di Urban Justice Center, Manhattan. Dua minggu kemudian, saya bertemu dengan Candy Chang, seniman-aktivis yang saat itu tinggal di New Orleans.

Salah satu sebab kenapa saya bertemu dengan 3 pihak tersebut adalah karena Street Vendor Guide yang merupakan hasil kolaborasi 3 pihak diatas.

NYC sebagai kota yang mengijinkan rupa-rupa pedagang kaki lima beroperasi di berbagai tempat, entah itu di trotoar, taman, hingga tepi jalan, memiliki aturan rumit dan tulisan ukuran 6pt (saya sempat baca buku peraturannya). Para PKL kebanyakan menengah ke bawah dan migran, dan banyak menjadi sasaran kriminalisasi akibat ribetnya peraturan tersebut. Aturannya bervariasi, mulai dari kartu anggota mereka harus dalam kondisi terlihat (kalau ada polisi melihat itu terbalik, PKL bisa langsung didenda), hingga jarak dari pintu masuk gedung ke tempat operasi PKL.

Sean dan sekumpulan pengacara dan mahasiswa hukum membantu para PKL dari berbagai hal, termasuk advokasi, training hingga menghadapi kasus pengadilan jika ada PKL didenda atau ditangkap. Sedikitnya ada 10000 PKL terdaftar di NYC. Dan ketika kunjungan saya itu, ada pasangan suami-istri yang juga migran dari Cina sedang melakukan pelatihan berbasis komputer tentang tata cara menjadi PKL.

Lalu ketiganya (Sean, Candy dan kelompok PKL) bekerja sama untuk membuat Steet Vendor Guide yang mengubah pasal-pasal berhuruf luar biasa kecil dan dengan bahasa jlimet itu menjadi grafis yang mudah dimengerti apapun latar belakang budayamu dan apapun kemampuan bahasa Inggrismu. Street Vendor Guide dianggap sebagai salah satu karya terbaik Candy Chang, dan dianggap sebagai salah satu contoh sukses pendidikan perkotaan yang dilakukan oleh Center for Urban Pedagogy.

Apa yang ingin saya ambil hikmahnya disini. Ada banyak. Pengakuan atas PKL di sebuah kota tidak serta merta membawa kepastian dan melindungi hak PKL. Aturan (kadang) dibuat untuk menyulitkan, serta dengan tujuan mengalieniasi hal tertentu. Namun jika negara bersikap demikian, jangan khawatir aliansi kelompok masyarakat sipil akan muncul sebagai penyeimbang dan yang akan membawa kebijakan itu ke dalam wacana dan perdebatan publik yang sehat.

Tentu tidak semua kota punya aturan jelimet dan menyulitkan ala NYC. Madison dan Copenhagen punya aturan cukup sederhana. Setahu saya, Berlin juga demkian. Baik dalam rupa lokasi hingga operasi dan undian. Bahkan Los Angeles akhirnya mengakui PKL di akhir tahun 2018, dimana PKL memang jadi sumber penghidupan bagi imigran.

Lalu bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Secara nasional, Kementerian PU di tahun 2014 sudah mengeluarkan peraturan menteri (no 3) terkait sarana-prasarana pejalan kaki, termasuk diantaranya panduan dasar untuk PKL (atau disebut KUKF). Sementara Jakarta, kegiatan PKL hampir terakomodasi di segenap dalam tabel ITBX peruntukan dalam Perda RDTR Jakarta. Namun sayangnya di Jakarta tidak ada peraturan turunan yang operasional terkait PKL. Yang ada adalah, aturan secara ad hoc dalam rupa lokalisasi PKL binaan, tanpa ada kejelasan sampai kapan mereka bisa disana. Ketiadaan peraturan operasional hingga ketidakpastian akan daerah operasi secara keruangan, membuat PKL selalu dalam posisi rentan, mulai dari penggusuran paksa, penggusuran dengan kekerasan, pungli, kriminalisasi, hingga stigmatisasi. Yang rugi akhirnya, tak hanya PKL tapi kota ini juga.

Sebetulnya ada banyak upaya pengorganisasian PKL dan upayanya menaikkan kepastian dan keberadaan mereka dalam lingkungan formal tanpa mengorbankan kepentingan kota dan publik.

Dalam 3 tahun ke belakang saya melihat upaya 2 pihak berbeda. Ada Pak Lin Che Wei dan 600 anggota PKL Koperasi Penawaskata yang bahkan saat peresmiannya dihadiri dan dibuka oleh Deputi Gubernur. PKL mendapat kartu keanggotaan hingga tempat dan jam berjualan yang jelas. Namun sayangnya akhir 2016, koperasi tersebut malah distigmatisasi oleh Pemprov sendiri dan akhirnya digusur paksa tanpa proses negoisasi dan kejelasan nasib.

Ada juga upaya yang dilakukan Jaringan Rakyat Miskin Kota dan Urban Poor Consortium serta dibantu berbagai pihak dan berlokasi di Ancol dan Sunda Kelapa.

Namun itu hanya sekelumit dari pengorganisasian yang terjadi. Dan Pemprov tak mungkin menghadapi satu kasus per kasus dan mengambil keputusan ad hoc. Jakarta harus mempunyai strategi dan kebijakan yang jelas tentang PKL, yang berdasarkan pada data dan studi (yang saya yakin sudah banyak studi soal PKL dan bahkan 2 tahun lalu Jakarta Smart City dan UN Pulse Lab sempat melakukan pemetaan kaki lima). Tanpa strategi dan kebijakan, maka yang ada hanya saling tunding hingga penggusuran tanpa solusi. Atau hilang satu kelompok PKL di tempat A, muncul lagi di tempat lain atau semedi hingga muncul lagi di tempat sama di bulan depan.

Bahkan ketidakjelasan strategi dan kebijakan itu sebetulnya meniadakan perlindungan terhadap hak atas ekososbud para PKL, karena mereka menjadi obyek stigmatisasi, kriminalisasi, hingga rentan penggusuran. Keenganan merumuskan strategi, entah dari Gubernur Sutiyoso hingga (mungkin) yang sekarang, hanya akan membawa ke solusi singular: penggusuran. Kelamaan dan pembiaran, malah akan cenderung melanggar Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Di saat bersamaan, ketiadaan peraturan (dan berikutnya: implementasi) juga seakan menyerahkan ruang publik kota seperti trotoar menjadi medan perang, berperang antara pejalan kaki, PKL, motor yang lawan arus, korupsi ramp dan pintu masuk-keluar bangunan, hingga parkir motor dan mobil.

Sebaiknya Gubernur dan Wakil Gubernur berhenti bicara jika belum punya strategi terkait Kaki Lima. Karena kedua bapak hanya mengundang ketidakpastian dan debat kusir.

Kalimat dari kedua bapak itu hanya akan dipakai untuk mendukung status quo atau menyerang. Apa yang bisa diperdebatkan dengan sehat jika barang kebijakannya tidak ada?

Mari kita melihat potensi yang ada di Pemprov DKI terkait sarana-prasarana pejalan kaki. Dinas Bina Marga dalam 1 tahun terakhir sudah membuat banyak pelebaran dan perbaikan trotoar. Salah satu proyek mereka yang sangat saya hargai adalah ketika di akhir tahun 2017, Dinas Bina Marga meniadakan jalur lambat di antara halte Trisakti lama dengan Halte TJ Grogol 1. Dengan demikian, trotoar lama dan jalur lambat berubah menjadi plaza kecil, dan bahkan menjadikan keberadaan Tugu Pahlawan Reformasi Trisakti menjadi lebih terhormat dan ‘sedikit’ monumental. Tadinya tugu tersebut sendirian kesepian di pulau kecil pembatas jalan, tanpa ada orang yang bisa mengapresiasinya.

Dan akhirnya, setelah lebih dari 10 tahun – sejak pertama kali didirikannya JPO baru menuju halte TJ di Grogol yang merusak trotoar – Kampus Trisakti dan Untar 1 kembali dihubungkan dengan trotoar lebar dan nyaman.

Saya yakin, Pemprov DKI setidaknya via Dinas Bina Marga, Citata, UMKM bisa bekerja sama untuk membuat strategi dan kebijakan yang mengintegrasikan PKL dengan kehidupan pejalan kaki. Strategi ini adalah kesempatan untuk menciptakan dan merevitalisasi ruang (milik) bersama yang inklusif dan beragam. Jangan lagi menafikan keberadaan PKL dengan terus membiarkan mereka berada di tempat abu-abu tanpa kejelasan dan kepastian hukum.