Search

OpenUrbanity

Architecture, Urbanism, Knowledge, Data

Category

Open Government

Tips 101: Mencari-cari Kebijakan Pemprov DKI

Screen Shot 2019-02-15 at 4.33.46 PM

Sudah menulis panjang-panjang tentang suatu kebijakan publik di DKI Jakarta namun ternyata ada kelupaan fatal yang berpotensi besar untuk menghancurkan argumenmu? Nah, situasi tidak mengenakkan itu bisa dihindari, dengan mulai mengakrabi situs-situs milik pemerintah. Misalnya tulisan ini, yang berupaya membangun argumen bahwa kontrak politik dari Jaringan Rakyat Miskin Kota berbuah pada kebijakan diskriminatif. Dan tulisan bulan Februari 2019 itu hanya mengutip 1 kebijakan Pemprov DKI Jakarta, yaitu Kepgub 878/2018 tentang Gugus Tugas Pelaksanaan Penataan Kampung dan Masyarakat, namun TIDAK menyebutkan Pergub 90/2018 tentang PENINGKATAN KUALITAS PERMUKIMAN DALAM RANGKA PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN TERPADU – dengan penerima manfaat 445 RW di 5 kotamadya dan 1 kabupaten DKI Jakarta.

Lalu saya mencapai pada kesimpulan, bahwa ada kemungkinan penulis belum mengetahui cara membaca kebijakan Pemprov DKI Jakarta. Itu hal wajar, karena yang namanya birokrasi raksasa dengan jumlah PNS 72000 orang, 42 SKPD (belum termasuk suku dinas), hingga ratusan kecamatan dan kelurahan.

Tahun 2015/6 silam, saya pernah berbagi di Facebook tentang bagaimana caranya melakukan cek-ricek kebijakan Pemprov. Tapi berhubung saya sudah tidak Facebook-an lagi, maka saya terlalu malas untuk mencari arsipnya. Saya juga tidak mau membebani terlalu jauh, maka saya pilihkan beberapa tips:

  1. Cek RPJMD. Kebijakan siapa yang anda maksud? Masing-masing Gubernur diwajibakan menyusun RPJMD dan dijadikan Perda. Seperti apa di dalam RPJMD? Silakan mampir ke situs Bappeda (merekalah dapur penggodok RPJMD).
  2. Cek LPSE yaitu situs pengadaan pemerintah. Untuk kasus tulisan yang saya berikan tautannya, jangan kaget ya kalau sampai menemukan ada kelurahan-kelurahan di luar lokasi kampung menurut Kepgub 878/2018.
  3. Cek APBD DKI – sebetulnya ini terkait dengan LPSE. Cuma barangkali saja ingin memblejeti detil anggaran.
  4. Cek JDIH – ini jaringan dokumentasi terkait produk hukum. Untuk mencari produk hukum, kita harus kreatif sedikit, misalnya menggunakan variasi kata-kata yang bermakna sama. Bisa saja tidak dibilang “kumuh”, tapi coba cari kata permukiman. Jika kamu mencari reklamasi Seharusnya semua produk hukum ada disini, tapi yah, kadang ada yang tidak diunggah. Misalnya produk hukum tertentu semacam Pergub 162/2017 tentang Penataan Ruang Kawasan Khusus GBK. Nah Pergub ini mengubah zonasi GBK yang sudah ditetapkan Perda 1/2014 – demi memberi jalan pengubahan kawasan Parkir Timur nan rindang menjadi Gedung Parkir. Loh, tapi kok saya bisa tahu ada Pergub yang tidak diunggah? Ternyata saya bisa melakukan cek ricek di situs lain, yaitu situs:
  5. Open Data Jakarta. Untungnya Biro Hukum mengunggah daftar nomor-nomor Pergub beserta nama dan tanggal penetapan. Kamu akan terkagum-kagum melihat betapa produktifnya Pak Gubernur Djarot di hari terakhir sebelum lengser.

 

Tambahan penting lainnya adalah: Kesabaran. Bisa saja kecele, misalnya ada serial kebijakan yang tak cukup dituangkan dalam 1 Kepgub atau Pergub. Nah ini memang perlu jeli sedikit. Keluar Kepgub, ada peraturan operasionalnya gak? Kritis-kritis lah bertanya demikian, jangan cuma kritis karena membaca teori kiri saja.

Jika gemar ngoprek-ngoprek, sebetulnya ada banyak situs lain yang menarik. Misalnya Jakarta Satu, situs Berita Jakarta, situs jakarta.go.id, situs Jakarta Smart City. Juga ada tips-tips melakukan analisa, misalnya antara rencana dan realisasi, atau perubahan. Tapi untuk sementara kita memulai dengan yang sederhana saja.

Semoga bermanfaat.

Untuk Presiden Jokowi: memudahkan birokrasi

8 bulan terakhir ini saya bekerja sebagai ‘birokrat’ alias abdi rakyat internasional. Saya belajar banyak soal birokrasi disitu, dan paham mengapa birokrasi memang membuat kinerja sedikit lambat – namun disaat bersamaan birokrasi memastikan transparansi dan penyelerasan dengan maksud dan tujuan program. Birokrasi itu bukan penjara atau penghalang untuk berinovasi malah birokrasi seharusnya dia bisa mendorong inovasi – terutama inovasi bagaimana tetap kreatif, partisipatif dan gesit namun berada dalam jalur serta transparan.

Di tempat saya bekerja, kami menggunakan sistem aplikasi yang menghubungkan kantor Jakarta dan kantor pusat – sehingga pihak berwenang disana mudah mengecek apa yang kami lakukan – one click away.
Birokrasi organisasi kami tentu tidak ada artinya dengan jejaring birokrasi pemerintah Indonesia – namun prinsip informasi serta manajemen akan sama.

Ada banyak cerita belakang layar yang mengatakan bahwa presiden lebih suka mendengar daripada membaca panjang-panjang ‘summary’ yang sudah disiapkan bawahannya. Teman lain menambahkan bahwa disekeliling presiden itu sudah ada banyak asisten dengan SOP dan tugas masing-masing – yang salah tugasnya tentu menyangkut tanda tangan legislasi. Sehingga menurut teman saya itu: ‘Masih percaya bahwa Jokowi itu benar tidak membaca?’
Saya tidak mau mendebat apakah dia benar baca namun pura-pura tidak tahu atau tidak membaca beneran – tapi saya lebih tertarik untuk berpikir agar jangan sampai pernah sekali lagi Presiden mengeluarkan pernyataan tersebut. Pernyataan beliau tersebut membuat saya ragu terhadap semua keputusan yang dia buat sejak kemarin lalu sampai hari pertama sumpah jabatan – atau bahkan saat menjadi Gubernur.
Ada presiden Indonesia yang memiliki keterbatasan penglihatan, tapi seingat saya, tidak sekalipun Gus Dur berujar seperti Jokowi. Tulisan ini sesungguhnya untuk mencegah agar jangan sampai presiden mengucapkan hal ‘saya tidak tahu’ dan variannya. Memang opsi lain adalah menyewa ahli komunikasi handal. Tapi ada argumen lain dari rekan lain soal ini: ini bisa dipakai untuk nge’les’ lebih jago lagi.

Kasus Presiden dan ketidaktahuan serta kecenderungannya untuk menyalahkan bawahan sesungguhnya bisa dicegah – bahkan bisa dijadikan semacam kuis untuk idea-challenge, hackthon atau apapun istilahnya. Presiden mungkin memerlukan aplikasi sederhana yang bisa melakukan fungsi dibawah ini:
1. Memberi notifikasi atas perencanaan produk legislasi
2. Memberi update untuk proses tersebut – jika ada perubahan, dll
3. Melakukan sortir dan kategorisasi informasi – dari pembagian perbidang, berdasarkan urgensi, wilayah hingga kombinasi.
4. Memudahkan koordinasi pekerjaan antara Setkab dan Sekneg. Sungguh sampai hari ini saya suka tertukar antara fungsi kedua lembaga itu.

Data bisa tersentralisasi di istana dan berasal dari Setkab dan Sekneg. Sistem notifkasi bisa diatur sedemikian rupa hingga misalnya jika Presiden tidak suka baca, maka sebaiknya pakai ‘pesan berbicara’ yang bisa disetel dengan suara yang beliau suka. Atau ada yang bilang kalau beliau ‘orang visual’, kalau begitu notifikasinya perlu ala Line – yang lucu dan informatif.

Namun, usulan iseng-iseng saya selagi menunggu macet itu sesungguhnya tidak perlu dan gak penting bahkan cenderung berlebihan – jika seandainya koordinasi internal istana lebih baik atau (jika memang benar tidak suka membaca) jika Pak Presiden mau meluangkan waktu untuk membaca. Pada akhirnya keberhasilan birokrasi itu ditentukan oleh koordinasi. Intinya Presiden tidak boleh diberi celah sedikitpun untuk sampai mengulangi ucapannya tersebut. Jika terlewat – kalau perlu ‘bantu’ supaya jangan sampai terlewat tidak terbaca.

Iseng-iseng juga menulis – untuk melempar kepada publik, ingin tahu tanggapannya seperti apa (kalau ada yang niat menanggapi).

Pak Presiden, masa percobaan karyawan baru di suatu perusahaan itu konon 3 bulan. Rasanya bapak bukan terhitung sebagai karyawan baru lagi, tidak bisa selamanya bertingkah, berpikir dan berperilaku seperti (mengutip teman saya yang lain): on the job training. KELAMAAN.

Tentang Pembebasan Tugas (Pemecatan) Jusuf Kalla & Laksamana Sukardi

Posting ini hanya untuk menampung beberapa artikel Kompas di bulan April 2000 hingga Mei 2000, sebelum akhirnya isu soal pemecatan ini memudar dan berganti dengan Skandal Buloggate. Artikel2 ini sesungguhnya saya sudah lihat senarainya kemarin, tapi beberapa tidak bisa dibuka, alias error dan ada yang beralamat link salah (artikel a diklik malah mengarah pada artikel b). Saya memutuskan untuk tunggu barangkali ada kerusakan sistem dalam Kompas, dan sekarang sepertinya sudah kembali normal.

Harap sebelum membaca berita, hilangkan semua prasangka, berpikiran jernih, dan hilangkan amarah. Ingat bahwa tahun 2000 adalah masa yang sangat berbeda dengan sekarang. Belum ada KPK (KPK baru ada paska UU No. 30/2002) dan semua sistem peradilan belum seperti sekarang. Jika menurut pembaca ada artikel Kompas di bulan Juni 2000 dstnya yang perlu ditambahkan, silakan komentar.

Kompas, 25 April 2000

GusDur membebastugaskan Jusuf Kalla (Memperindag) dan Laksamana Sukardi (Menteri Penanaman Modal dan BUMN) melalui Keppres. Pertemuan dengan kedua menteri berlangsung 30 menit. Mereka ditanya apakah mau menjadi Dubes atau Anggota DPA. Keduanya menolak. Sekkab, Marsilam Simanjuntak menyebutkan: “Alasan presiden adalah untuk menyerasikan tim ekonomi, karena itu presiden memilih untuk memberhentikan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla,”

Kompas_20000425

Kompas, 26 April 2000

Sikap Golkar dan PDIP terhadap pemecatan (di artikel 25 April masih memakai kata pembebastugasan) Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Berita dapat dilihat di tautan berikut ini Kompas_20000426

Kompas, 28 April 2000

Dua Menteri Disebut Terlibat KKN.

Silakan baca langsung disini: Kompas_20000428

Kompas, 29 April 2000

PDIP dan Golkar Samakan Platform. Berita baca langsung disini Kompas_20000429

Catatan: Harap ingat juga kisruh politik sejak tahun 1996 yang berpuncak pada tragedi 27 Juli 1996 di Markas PDIP. Anda bisa cari sendiri bagaimana hubungan PDIP dan Golkar pada masa itu, dan mungkin setelah mengetahui hubungan kedua parpol tersebut, maka berita ini menjadi sangat ‘spesial’.

Kompas, 29 April 2000

Pernyataan KKN itu harap ditindaklanjuti. Berita ini mengutip tokoh-tokoh parpol pada masa itu. Termasuk sanggahan Golkar dan Jusuf Kalla. Berita dapat dilihat disini Kompas_20000429_02

——

Setelah itu lebih banyak berita ekonomi mengenai dampak pencopotan keduanya, dan berita-berita demonstrasi di Sumatera Selatan terkait dengan pencopotan tersebut. Perlahan-lahan kasus Buloggate mencuat di minggu ketiga Mei 2000.

——-

Kompas, 20 Mei 2000

DPR menggunakan Hak Interpelasi. Berita disini Kompas_20000520

Catatan: Apa itu Hak Interpelasi? Bisa dilihat disini. Tapi ingat, itu adalah Hak Interpelasi yang berdasarkan UU 22/2003 Pasal 27A. Kembali lagi, jika ingin tahu konteks tahun 2000, silakan google sendiri.

——-

 

 

 

 

This is my first trip to USA. This fellowship was made possible through ‘helps’ from a President of United States and a Vice President of United States. I was looking for Rockefeller Foundation but apparently I typed the wrong name on Google: Eisenhower Foundation. The top of the search result was Eisenhower Fellowship website. And now here I am, travelling around US cities and meeting great people from around the USA.

Eisenhower Fellows (South East Asia Regional Program) 2013 with spouses & John Wolf
Eisenhower Fellows (South East Asia Regional Program) 2013 with spouses & John Wolf

Walking In The Cities: In-between experiences

I never considered myself as a leader but I was never afraid to take initiatives and first steps. I’m a mother and an urbanist. This attitude has shaped who I was before this fellowship. As a mother I need to put my child first; but as an urbanist, I want to help Jakarta to be a better city. In the beginning I was curious about Eisenhower fellowship and on how my fellowship affected my future.

I guessed I am a lucky person. I started my fellowship by participating in one of UN Week events on September 2013: 2030Now Social Good Forum. I had experienced a government shutdown for the first time and President Obama visited 2 cities (Boston and Dallas) that I happened to visit as well; Banksy – one of the most famous street artist – decide to have a ‘residency’ in New York City for the whole October; I watched 3 Broadway shows in 3 different cities , I watched one of the greatest symphony orchestra conducted by one of greatest conductor in the world; I walked around the second most dangerous neighborhood in the US without getting shot at; I met an architect from Palestine and had a discussion with her regarding urban planning practice in Palestine; I visited more than 15 museums and galleries in 10 cities; I visited Lower Ninth Ward in New Orleans; I had visited 3 different James Turrell’s exhibitions in NYC, LA and Dallas and I finally visited one of the greatest building in the US: Kimbell Art Museum. These experiences intertwined with wonderful meetings setting up by Leigh Cohen have become one of the best 2 months in my life so far. And I visited 18 US cities in total.

In the beginning, I only had 2 purposes for this fellowship: to explore technology that foster public participation and examine current US data research and development initiative and their role in urban policy and decision making. But the dynamic during first two weeks of my fellowship has changed my purposes into different agendas. First is to explore best practices in civic engagement especially on how technology, design, and strategy has help and shape public participation in policy planning. I reduced my expectation in technology after finding there still some issues on technology especially for low income citizens in certain cities. The next purpose is to research on how open data and open government take roles in citizen activism and government. And the last purpose is to learn more about big data’s analysis and its role in policy analysis, especially in urban area and city level.

Great meetings follow by greater collaboration and discussion. One great and deep discussion with the Cloud Evangelist: Jacqueline Venacek lead me to a broader discussion in Chicago on how Open Data and Open Government affect Chicago in each layers: political view, community activism view, academician view and business side. I had series of discussion with state, county and city level. I also gain insight from practitioners and community and receive a gentle reminder from academician regarding the hyper hype of Open Data and Open Government movement.

After meeting with Tom Kingsley of The Urban Institute, I was introduced to other 2 data-based community organisation in Detroit and New Orleans. I experienced 2 different community approach in data sharing and analysis. Allison Plyer for Greater New Orleans Community Data Center explained her difficulty in analysing city data since the NOLA data are not in good quality and format. The user of her data are mostly low income community and hardly use computer as well. While Data Driven Detroit is more tech driven and collaborative than GNOCDC.

One meeting lead to great events and experiences. That’s what I experienced in most cities. One meeting with city planning agency in Washington created an opportunity for me to attend a zoning hearing in city hall, which were very dynamic. I learned on how various stakeholder put their position during the hearing and how their civic right is protected during the hearing and afterward.

And my meetings are not always inside the office. I had a meeting with Candy Chang and helped her install one of her engagement art in the park of New Orleans East. Working while meeting and interact with other people gave me unique experience especially on how we can engage with other citizen. My other meeting with David Van Der Leer of Van Alen Institute was conducted while we strolling around the Greenwich Village in NYC, discussion on how space that created by city shaped its citizen perception. Another great meeting also happened while driving around the city of Dallas. I can felt Amber Arseneaux’s passion and high hope when we discussed about the future of Trinity River development. The meeting could happened in a very busy and active place like 1871 in Chicago, and it help me elevated my mood while having discussion with Derek Eder and Cory Mollet. Unique space helped me to elevate my meeting outcome, for example my meeting with Free Space in San Francisco just a couple days before they have to leave the premise.

I had experienced US cities by walking from block to block, from one landmark to building, along the river and underneath flying highways. US cities are always in struggle but at different level of struggle. One city suffers because of hyper gentrification, while other cities erode because of automobile contrition. These prolonged condition and history shaped the city and how citizen and government react toward those condition.

Some meetings were preceded by interesting walking experience. Before I started my day in Detroit, I was greeted by Detroit bus driver strike that forced me to walk from Downtown to Midtown Detroit. This walking experience made me understand Detroit and how to put it into context and helped me to elevate my meeting. The rest of the day I was walking around to the furthest East Detroit that I can be, visited the Heidelberg Project, the Dequindre Trail, the Lafayette Park by Mies Van Der Rohe and ended in some Downtown casinos. I walked for more than 10 miles that day.

The people I met in Detroit were not Detroiters. Only Kurt Metzger who lived in Detroit (suburb) for more than 30 years. He’s running an organisation called Data Driven Detroit, an open data analysis organisation. The rest of the people are mostly in their 30s or early 40s and from outside of Detroit and now trying to live in Midtown and Downtown to make their neighborhood hype than before.

My experience with Dallas and its people help me to understand several things such as the role of philanthropy in city planning, economic of the city and future of the city. Philanthropy in the city makes the role of government become more obsolete. This condition also happened in Detroit when most of neighborhoods are developed by community and funding from private sectors, foundations and philanthropy.

The fellowship experiences are not always from meetings or conferences that I attended to. Meetings and conferences only contributed about 60% of the total experience. And what’s the other 40? It’s the cities and my interaction to other people, including other fellows. The city and its people help me to put every meeting into context.

I always believe in the balanced role of government. I believe the government should be open and transparent.

Leader and Doer

Leadership and learning are indispensable to each other

– John F. Kennedy

I found this JFK’s quote by accident when I want to write something clever on my Dallas’s postcard for my brother. Learning has become our family value and my father is a living proof for this principle.

Four Freedoms Park - Roosevelt Island, New York City (Architect: Louis I.Kahn, 2012)
Four Freedoms Park – Roosevelt Island, New York City (Architect: Louis I.Kahn, 2012)

I also encountered with President Roosevelt’s Four Freedoms when I visited Four Freedoms Park, designed by Louis I. Kahn more than 30 years ago and finally completed in 2012. Four Freedoms are included Freedom of Speech, Freedom of Worship, Freedom from Want and Freedom from Fear. I always believe in Democracy. Without democracy, society couldn’t have these freedoms. Four Freedoms are important and prerequisite of leadership, otherwise you’ll ended up with autocracy. While leadership without learning, the leader will never anticipate the future because he/she never learn from the past or from others.

The role of leadership that I learned through meetings with people are not a traditional and charismatic leader. They are also doer and partnered with as many people as possible. They are also collaborators and creative people. And above all, they are doing those things for greater good.

Blog at WordPress.com.

Up ↑