Pada tulisan professional disini saya mempermasalahkan soal kota-kota Indonesia yang suka meniru mentah-mentah kota-kota cantik di luar negeri. Dalam tulisan tersebut saya memberikan 2 contoh di kota kembang. 

Melihat asli atau tidak, ini seperti dilema perempuan dengan kantung pas-pasan namun ingin dilihat sebagai seorang yang memiliki selera tinggai dan modis bin chic. Demi citra tertentu, misalnya dia berburu mencari tas palsu namun yang semirip dengan aslinya. Mungkin agar dilihat berbudaya, dia memilih memakai batik print dengan nuansa batik tulis indigo dengan detil canting 0.1

Mungkin saya lupakan soal tas, karena saya tidak punya pemahaman tentang tas dan keputusan perempuan untuk memakai tas tertentu. Saya memilih bercerita lewat batik print. 

Batik print itu bukan batik. Ini bukan soal snob atau sejenisnya. Tapi mari kita tempatkan pemahaman batik pada tempatnya. 

Secarik kain batik tulis atau cap mewakili kehidupan dan tradisi yang telah turun menurun. Batik juga mewakili jejaring kegiatan produksi dan ekonomi berbeda. 1 kain batik diproduksi dengan adanya ketergantungan terhadap pihak lainnya. Ketergantungan dan keterkaitan tersebut kemudian melahirkan komunitas, ada penyedia kain, produksi canting, pebatik, produksi pewarna dan malam, hingga maestro. Saya selalu mengambil contoh Pekalongan sebagai komunitas batik.

Kain bermotif batik (batik print) adalah antitesis dari semua diatas. Ia meniadakan komunitas dan melupakan tradisi – dan hanya melihat batik sebagai motif, tak ada bedanya dengan motif bunga-bunga atau Versace. 

Sesuatu yang asli mewakili nilai dan makna besar di belakangnya. Sementara yang palsu hanya jadi secarik kain. Yang asli bisa menjadi tradisi dan berlanjut serta adaptif dengan kondisi dan jaman, sementara si produsen tekstil print bisa jadi mengganti motif batik dengan motif teletubbies karena tuntutan pasar.