Sebagian orang mungkin sudah terjerat dan menjadi bagian dari platform capitalism (PC), atau kapitalisme platform, yang contohnya adalah berbagai platform jual beli seperti Tokopedia hingga layanan transportasi dan makanan seperti Gojek dan Grab. Namun, tidak berarti kita sebagai pengguna maupun “yang terjerat” dan “yang tergantung” maka otomatis tidak “diijinkan” memberikan kritik kepada kondisi dan lansekap kapitalisme platform tersebut. Justru karena banyak yang terjerat, terutama dalam kondisi yang timpang dan tidak adil, maka kritik perlu terus diungkapkan.

Sebetulnya dalam 2 dekade ke belakang, ada banyak tulisan terkait kapitalisme platform, terlebih dengan naik daunnya Amazon. Namun, jika ingin memulai untuk mengenal lebih jauh soal kapitalisme platform, bisa dengan membaca buku Nick Srnicek ini. Jika usaha sedikit, maka akan ketemulah versi gratis PDF nya.

PC adalah suatu sistem dan produksi yang menggunakan data dan teknologi sebagai alat dan platform untuk mengakumulasi keuntungan melalui penciptaan “ketergantungan” pada platform tersebut. Semakin banyak penggunanya, maka semakin “Unicorn” lah platform tersebut. Buku Srnicek juga menerangkan lebih banyak karakter PC, termasuk tingkah “subsidi silang” – yang lagi-lagi tujuannya untuk memperbesar pengguna.

5 bulan terakhir, saya “naik kelas”, dari sekadar konsumen jasa yang ditawarkan platform, kini turut menjadi “seller” di marketplace, dalam rangka upaya membantu usaha orang tua di akhir pekan (Iklan lewat … tokonya jual ini). Dan tentu saja saya manfaatkan kesempatan ini sebagai riset dan refleksi serta mendalami lebih lanjut PC. Hal-hal yang saya pelajari dan refleksikan, saya bagikan lagi dalam akun twitter saya @elisa_jkt.

Beberapa hari lalu, saya kembali menemukan hal baru dan refleksi yang lain tentang PC. Yaitu mengenai sistem keanggotaan ekslusif dan “gratis ongkir”, dalam hal ini layanan Tokopedia Plus dan Gratis Ongkir dari Tokopedia.

Layanan Tokopedia Plus adalah layanan keangggotaan berbayar bagi pengguna Tokopedia (dalam hal ini sebagai konsumen) yang “terpilih”. Saya tidak tahu bagaimana mereka “memilih” dan apakah sampai hari ini masih berbasis “pilihan”. Pengguna Plus membayar biaya langganan per 6 bulan sekali, dan mendapatkan berbagai kemudahan dan fasilitas, termasuk penambahan kuota gratis Ongkir dari yang 6-12 x seminggu (tergantung tingkatan konsumsi kamu) menjadi tanpa batas. Juga ada penambahan besaran ongkir yang gratis yaitu menjadi maksimun 50.000. Selain itu, waktu proses dan pengiriman pengguna Plus juga lebih cepat daripada pengguna biasa, misalnya pesanan harus sudah diproses dalam tempo waktu 18 jam.

Saya adalah pengguna Plus. Sudah bayar 2x, alias hampir genap 1 tahun. Dan tentunya karena dulu saya kerap kehabisan kuota ongkir tiap minggu, kini tidak pernah khawatir lagi. Saya tidak tahu uang keanggotaan tersebut untuk apa. Walaupun saat mendaftar, saya punya kenaifan tertentu, sambil berdoa, semoga ada persentase uang langganannya yang masuk ke kurir ataupun toko. Alasan “wishful thinking” saya itu adalah segala tanpa batas kuota itu akhirnya cenderung abusif terhadap sistem. Misalnya jika sistem transportasi gratis, maka ada kecenderungan terjadian kegiatan berpergian yang tak perlu. Akhirnya yang “penting”/necessities harus bersaing dengan yang tersier dan leisure.

Lalu, bagaimana jika dilihat dari pihak seller?

Menurut Tokopedia, seller konon mendapatkan visibility, lewat badge plus. Ya seperti dapat visibility di antara pengguna kelas kakap. Di atas kertas, terkesan seller yang mendapatkan logo Plus maka akan mendapatkan manfaat lebih terutama kaitannya dengan mendapatkan exposure.

Saya yang penasaran, akhirnya sekitar 2 bulan lalu ingin mendapat badge Plus untuk toko. Syaratnya ternyata mudah: cukup aktifkan “Bebas Ongkir” dan berlokasi di Pulau Jawa. Dan akhirnya terpaksa saya mengaktifkan Bebas Ongkir, yang sesungguhnya di toko saya cuma berlaku untuk pengiriman instant dan same day (alias dalam kota).

Karena saya ingin mendapatkan manfaat Plus, maka saya jadi tersentuh realita “Bebas Ongkir” dari sisi seller. Dan sungguh: “Devil is in the details”. Program ini menggadang-gadang bahwa biaya ongkir adalah bentuk “patungan” antara seller dan pihak lain (Platform? Pemerintah?). Namun, apakah betul patungan? Tunggu dulu ….

Tokopedia menyatakan beban ongkir yang perlu ditanggung seller adalah 4% dengan maksimum Rp10.000 untuk SETIAP produk terjual. Jadi kalau ada Pelanggan Plus (katakanlah namanya Konsumen A) berbelanja di Toko saya dengan rincian sebagai berikut:

  1. 2 box ketan gurih isi 10 (Subtotal 260.000),
  2. 3 porsi Lontong Cap Gomeh (Subtotal 120.000) dan
  3. 2 nasi langgi (Subtotal 60.000) dan
  4. dikirim dengan Instant ke Hotel Aston (ongkir kurleb 17.000),
  5. maka TOTAL ONGKIR yang saya tanggung adalah: 10.000 + 4800 + 2400 = 17.200, alias 17.000, alias SELURUH BIAYA ONGKIR.

Jadi berapa yang ditanggung Tokopedia atau “patungan” atas pembelian Konsumen A? Ya tidak ada. Akibatnya, seller semacam toko saya, yang menawarkan banyak rupa barang, bisa menanggung seluruh ongkir.

Memang, kalau konsumen A tersebut hanya membeli sedikit macam barang, maka jumlah patungan “seller” < total ongkir. Namun, tidak mungkin kan jika seller mengeluarkan pengumuman: “hei, konsumen, tolong dong jangan beli macam2 barang, cukup 1-2 macam saja dan kuantiti dikit. Supaya kami tidak nanggung seluruh gratis ongkir.”

Disinilah saya jadi bertanya-tanya: dalam program Plus ini, konsumen harus bayar langganan. Tapi uang langganan sepenuhnya masuk ke platform, sementara seller” yang mengharapkan tambahan “visibility” dari Plus jadi terpaksa mengaktifkan bebas ongkir dengan cara hitung yang berpotensi merugikan seller. Ditambah lagi, seller mendapatkan beban tambahan untuk memproses lebih cepat (dari 24 jam menjadi 18 jam, tapi eniwei, toko saya memproses dalam hitungan menit sih – karena semua produksi sendiri).

Sementara, saya pribadi tidak tahu bagaimana mekanisme penyaluran subsidi ongkir dari Pemerintah. Apakah langsung kepada perusahaan logistik atau kepada platform? Karena keduanya mempunyai dampak yang berbeda. Dan perlu dicek juga akuntabilitas subsidi tersebut – apakah akhirnya cuma mensubsidi platform sajakah?

Nah memang beginilah cara kerja PC dalam mengekstraksi nilai, terutama ekstrasi nilai dari alat kerja yang sesungguhnya tidak dimiliki platform. Platform berusaha mengekstraksi nilai dan manfaat dari seller semaksimal mungkin, lalu menjual dan mengemas ekstraksi tersebut kepada pihak lain (konsumen). Memaksimalkan ekstraksi tersebut bisa terjadi berdasarkan hitungan yang terkumpulkan dari data-data yang masuk dan dikuasai oleh pemilik platform, serta bisa diluar logika hubungan jual-beli konvensional.

Secara konvensional, misalnya, penghitungan ongkos kirim berdasarkan jarak dan spesifikasi benda (volume, berat, jenis). Namun pada PC, penghitungan persentase Bebas Ongkir tidak berdasarkan kedua hal tersebut, melainkan persentase harga produk yang tidak ada kaitannya dengan penghitungan konvensional logistik.

Akhirnya seller UMKM (yang terpaksa bertarung di lansekap yang tak rata-dan-tak-adil di dalam PC) perlu menghitung secara hati-hati. Tentu saja, “kebijakan” dan cara hitung dari PC ini membuahkan berbagai macam taktik dari para seller, tentu dengan keterbatasan tertentu. Seller yang pingin punya badge Plus namun sebel dengan hitungan “ongkirnya” yang membuat harga produk kurang kompetitif (baca: profitnya makin tipis), dapat mengaktifkan jenis kurir yg bebas ongkir di satu produk dan mematikannya di produk lain.

Bagaimana dengan toko saya? Tadinya saya sempat mau terus akftifkan “bebas ongkir” di beberapa produk agar tetap dapat badge Plus pada produk tertentu maupun toko saya. Namun barusan saja hari ini saya bereksperimen gabut 30 menit untuk beberapa kondisi:

  1. Memati-nyalakan iklan pada produk
  2. Memati-nyalakan Bebas Ongkir pada produk yang sama, serta kombinasi (bebas ongkir nyala, iklan mati; iklan nyala, bebas ongkir mati; dll).

Dan apa kesimpulan yang saya dapat? Ternyata “visibility” yang digadang2 oleh Plus tersebut tidaklah berlaku untuk produk dan toko saya. Begitu iklan mati dan Plus tetap aktif, dan saat pencarian barang, tetap saja algoritma menampilkan teratas adalah seller yang kebetulan jual barang serupa seharga (jastip penjual ketan toko kami yang sudah berusaha lebih lama dan sudah ribuan terjual. BTW, Jastip ini tidak mengaktifkan Plus/Bebas Ongkir), dan sementara badge Plus pada produk serupa ada jauhhhhhh di bawah (karena kalah algoritma?). Tapi begitu iklan nyala, balik lagi produk saya ada di atas. Jadi ya saya memutuskan mematikan layanan Plus pada toko saya.

Tapi ingat, toko saya punya privilese yang memungkinkan saya mengambil keputusan secara bebas, yaitu produk yang sudah cukup terkenal dan dicari orang, serta jenis yang unik. Saya bisa tetap saja mengaktifkan layanan Plus (“Bebas Ongkir” maksa), karena 99.9% transaksi saya adalah untuk konsumen luar kota dimana perusahaan logistik yang melayani pun tidak termasuk dalam daftar logistik “Bebas Ongkir”. Tapi saya juga tidak butuh “visibility” tidak jelas tersebut.

Seperti G*jek & Gr*b yang mengeksploitasi para ojol-ojol dan memanipulasi hubungan ketenagakerjaan lewat istilah “mitra” maka Tokopedia pun melakukan hal serupa tak sama dalam hubungan jual beli.

Lalu apakah perusahaan tidak boleh mengambil keuntungan? Ya tentu saja boleh. Toko saya pun mendapatkan keuntungan, baik lewat offline maupun lewat platform. Namun yang seharusnya direnungkan secara kritis adalah bagaimana keuntungan tersebut dihasilkan dan dalam kondisi seperti apa?

PS:

Tulisan di atas adalah penulisan ulang dari thread saya yang tiba-tiba entah gimana bisa “hilang” antara tanggal 29-30 April 2023 …