Search

OpenUrbanity

Architecture, Urbanism, Knowledge, Data

Tentang Platform Capitalism & “Bebas Ongkir”

Sebagian orang mungkin sudah terjerat dan menjadi bagian dari platform capitalism (PC), atau kapitalisme platform, yang contohnya adalah berbagai platform jual beli seperti Tokopedia hingga layanan transportasi dan makanan seperti Gojek dan Grab. Namun, tidak berarti kita sebagai pengguna maupun “yang terjerat” dan “yang tergantung” maka otomatis tidak “diijinkan” memberikan kritik kepada kondisi dan lansekap kapitalisme platform tersebut. Justru karena banyak yang terjerat, terutama dalam kondisi yang timpang dan tidak adil, maka kritik perlu terus diungkapkan.

Sebetulnya dalam 2 dekade ke belakang, ada banyak tulisan terkait kapitalisme platform, terlebih dengan naik daunnya Amazon. Namun, jika ingin memulai untuk mengenal lebih jauh soal kapitalisme platform, bisa dengan membaca buku Nick Srnicek ini. Jika usaha sedikit, maka akan ketemulah versi gratis PDF nya.

PC adalah suatu sistem dan produksi yang menggunakan data dan teknologi sebagai alat dan platform untuk mengakumulasi keuntungan melalui penciptaan “ketergantungan” pada platform tersebut. Semakin banyak penggunanya, maka semakin “Unicorn” lah platform tersebut. Buku Srnicek juga menerangkan lebih banyak karakter PC, termasuk tingkah “subsidi silang” – yang lagi-lagi tujuannya untuk memperbesar pengguna.

5 bulan terakhir, saya “naik kelas”, dari sekadar konsumen jasa yang ditawarkan platform, kini turut menjadi “seller” di marketplace, dalam rangka upaya membantu usaha orang tua di akhir pekan (Iklan lewat … tokonya jual ini). Dan tentu saja saya manfaatkan kesempatan ini sebagai riset dan refleksi serta mendalami lebih lanjut PC. Hal-hal yang saya pelajari dan refleksikan, saya bagikan lagi dalam akun twitter saya @elisa_jkt.

Beberapa hari lalu, saya kembali menemukan hal baru dan refleksi yang lain tentang PC. Yaitu mengenai sistem keanggotaan ekslusif dan “gratis ongkir”, dalam hal ini layanan Tokopedia Plus dan Gratis Ongkir dari Tokopedia.

Layanan Tokopedia Plus adalah layanan keangggotaan berbayar bagi pengguna Tokopedia (dalam hal ini sebagai konsumen) yang “terpilih”. Saya tidak tahu bagaimana mereka “memilih” dan apakah sampai hari ini masih berbasis “pilihan”. Pengguna Plus membayar biaya langganan per 6 bulan sekali, dan mendapatkan berbagai kemudahan dan fasilitas, termasuk penambahan kuota gratis Ongkir dari yang 6-12 x seminggu (tergantung tingkatan konsumsi kamu) menjadi tanpa batas. Juga ada penambahan besaran ongkir yang gratis yaitu menjadi maksimun 50.000. Selain itu, waktu proses dan pengiriman pengguna Plus juga lebih cepat daripada pengguna biasa, misalnya pesanan harus sudah diproses dalam tempo waktu 18 jam.

Saya adalah pengguna Plus. Sudah bayar 2x, alias hampir genap 1 tahun. Dan tentunya karena dulu saya kerap kehabisan kuota ongkir tiap minggu, kini tidak pernah khawatir lagi. Saya tidak tahu uang keanggotaan tersebut untuk apa. Walaupun saat mendaftar, saya punya kenaifan tertentu, sambil berdoa, semoga ada persentase uang langganannya yang masuk ke kurir ataupun toko. Alasan “wishful thinking” saya itu adalah segala tanpa batas kuota itu akhirnya cenderung abusif terhadap sistem. Misalnya jika sistem transportasi gratis, maka ada kecenderungan terjadian kegiatan berpergian yang tak perlu. Akhirnya yang “penting”/necessities harus bersaing dengan yang tersier dan leisure.

Lalu, bagaimana jika dilihat dari pihak seller?

Menurut Tokopedia, seller konon mendapatkan visibility, lewat badge plus. Ya seperti dapat visibility di antara pengguna kelas kakap. Di atas kertas, terkesan seller yang mendapatkan logo Plus maka akan mendapatkan manfaat lebih terutama kaitannya dengan mendapatkan exposure.

Saya yang penasaran, akhirnya sekitar 2 bulan lalu ingin mendapat badge Plus untuk toko. Syaratnya ternyata mudah: cukup aktifkan “Bebas Ongkir” dan berlokasi di Pulau Jawa. Dan akhirnya terpaksa saya mengaktifkan Bebas Ongkir, yang sesungguhnya di toko saya cuma berlaku untuk pengiriman instant dan same day (alias dalam kota).

Karena saya ingin mendapatkan manfaat Plus, maka saya jadi tersentuh realita “Bebas Ongkir” dari sisi seller. Dan sungguh: “Devil is in the details”. Program ini menggadang-gadang bahwa biaya ongkir adalah bentuk “patungan” antara seller dan pihak lain (Platform? Pemerintah?). Namun, apakah betul patungan? Tunggu dulu ….

Tokopedia menyatakan beban ongkir yang perlu ditanggung seller adalah 4% dengan maksimum Rp10.000 untuk SETIAP produk terjual. Jadi kalau ada Pelanggan Plus (katakanlah namanya Konsumen A) berbelanja di Toko saya dengan rincian sebagai berikut:

  1. 2 box ketan gurih isi 10 (Subtotal 260.000),
  2. 3 porsi Lontong Cap Gomeh (Subtotal 120.000) dan
  3. 2 nasi langgi (Subtotal 60.000) dan
  4. dikirim dengan Instant ke Hotel Aston (ongkir kurleb 17.000),
  5. maka TOTAL ONGKIR yang saya tanggung adalah: 10.000 + 4800 + 2400 = 17.200, alias 17.000, alias SELURUH BIAYA ONGKIR.

Jadi berapa yang ditanggung Tokopedia atau “patungan” atas pembelian Konsumen A? Ya tidak ada. Akibatnya, seller semacam toko saya, yang menawarkan banyak rupa barang, bisa menanggung seluruh ongkir.

Memang, kalau konsumen A tersebut hanya membeli sedikit macam barang, maka jumlah patungan “seller” < total ongkir. Namun, tidak mungkin kan jika seller mengeluarkan pengumuman: “hei, konsumen, tolong dong jangan beli macam2 barang, cukup 1-2 macam saja dan kuantiti dikit. Supaya kami tidak nanggung seluruh gratis ongkir.”

Disinilah saya jadi bertanya-tanya: dalam program Plus ini, konsumen harus bayar langganan. Tapi uang langganan sepenuhnya masuk ke platform, sementara seller” yang mengharapkan tambahan “visibility” dari Plus jadi terpaksa mengaktifkan bebas ongkir dengan cara hitung yang berpotensi merugikan seller. Ditambah lagi, seller mendapatkan beban tambahan untuk memproses lebih cepat (dari 24 jam menjadi 18 jam, tapi eniwei, toko saya memproses dalam hitungan menit sih – karena semua produksi sendiri).

Sementara, saya pribadi tidak tahu bagaimana mekanisme penyaluran subsidi ongkir dari Pemerintah. Apakah langsung kepada perusahaan logistik atau kepada platform? Karena keduanya mempunyai dampak yang berbeda. Dan perlu dicek juga akuntabilitas subsidi tersebut – apakah akhirnya cuma mensubsidi platform sajakah?

Nah memang beginilah cara kerja PC dalam mengekstraksi nilai, terutama ekstrasi nilai dari alat kerja yang sesungguhnya tidak dimiliki platform. Platform berusaha mengekstraksi nilai dan manfaat dari seller semaksimal mungkin, lalu menjual dan mengemas ekstraksi tersebut kepada pihak lain (konsumen). Memaksimalkan ekstraksi tersebut bisa terjadi berdasarkan hitungan yang terkumpulkan dari data-data yang masuk dan dikuasai oleh pemilik platform, serta bisa diluar logika hubungan jual-beli konvensional.

Secara konvensional, misalnya, penghitungan ongkos kirim berdasarkan jarak dan spesifikasi benda (volume, berat, jenis). Namun pada PC, penghitungan persentase Bebas Ongkir tidak berdasarkan kedua hal tersebut, melainkan persentase harga produk yang tidak ada kaitannya dengan penghitungan konvensional logistik.

Akhirnya seller UMKM (yang terpaksa bertarung di lansekap yang tak rata-dan-tak-adil di dalam PC) perlu menghitung secara hati-hati. Tentu saja, “kebijakan” dan cara hitung dari PC ini membuahkan berbagai macam taktik dari para seller, tentu dengan keterbatasan tertentu. Seller yang pingin punya badge Plus namun sebel dengan hitungan “ongkirnya” yang membuat harga produk kurang kompetitif (baca: profitnya makin tipis), dapat mengaktifkan jenis kurir yg bebas ongkir di satu produk dan mematikannya di produk lain.

Bagaimana dengan toko saya? Tadinya saya sempat mau terus akftifkan “bebas ongkir” di beberapa produk agar tetap dapat badge Plus pada produk tertentu maupun toko saya. Namun barusan saja hari ini saya bereksperimen gabut 30 menit untuk beberapa kondisi:

  1. Memati-nyalakan iklan pada produk
  2. Memati-nyalakan Bebas Ongkir pada produk yang sama, serta kombinasi (bebas ongkir nyala, iklan mati; iklan nyala, bebas ongkir mati; dll).

Dan apa kesimpulan yang saya dapat? Ternyata “visibility” yang digadang2 oleh Plus tersebut tidaklah berlaku untuk produk dan toko saya. Begitu iklan mati dan Plus tetap aktif, dan saat pencarian barang, tetap saja algoritma menampilkan teratas adalah seller yang kebetulan jual barang serupa seharga (jastip penjual ketan toko kami yang sudah berusaha lebih lama dan sudah ribuan terjual. BTW, Jastip ini tidak mengaktifkan Plus/Bebas Ongkir), dan sementara badge Plus pada produk serupa ada jauhhhhhh di bawah (karena kalah algoritma?). Tapi begitu iklan nyala, balik lagi produk saya ada di atas. Jadi ya saya memutuskan mematikan layanan Plus pada toko saya.

Tapi ingat, toko saya punya privilese yang memungkinkan saya mengambil keputusan secara bebas, yaitu produk yang sudah cukup terkenal dan dicari orang, serta jenis yang unik. Saya bisa tetap saja mengaktifkan layanan Plus (“Bebas Ongkir” maksa), karena 99.9% transaksi saya adalah untuk konsumen luar kota dimana perusahaan logistik yang melayani pun tidak termasuk dalam daftar logistik “Bebas Ongkir”. Tapi saya juga tidak butuh “visibility” tidak jelas tersebut.

Seperti G*jek & Gr*b yang mengeksploitasi para ojol-ojol dan memanipulasi hubungan ketenagakerjaan lewat istilah “mitra” maka Tokopedia pun melakukan hal serupa tak sama dalam hubungan jual beli.

Lalu apakah perusahaan tidak boleh mengambil keuntungan? Ya tentu saja boleh. Toko saya pun mendapatkan keuntungan, baik lewat offline maupun lewat platform. Namun yang seharusnya direnungkan secara kritis adalah bagaimana keuntungan tersebut dihasilkan dan dalam kondisi seperti apa?

PS:

Tulisan di atas adalah penulisan ulang dari thread saya yang tiba-tiba entah gimana bisa “hilang” antara tanggal 29-30 April 2023 …

Managing risks and don’t run away

Sumidagawa bridge with Sumida ward in the background: After World War 2 Bombing and current situation (with Tokyo Skytree)

Indonesia has been considered the number two in countries with the most earthquakes for more than a century. According to Statista, China’s first one, with 157 recorded earthquakes from 1900-to 2016, while Indonesia is 113. As the capital of China, according to recent studies by the Beijing Institute of Geoexploration Technology and China Geological Survey, Beijing has 15 major active fault lines, more than double the previous count. A third was “strongly active,” suggesting a high earthquake risk, and located in the capital’s fastest developing areas. According to SCMP, Beijing has experienced nearly 600 earthquakes since records began 1,700 years ago, with dozens estimated to have exceeded magnitude 7.

Japan is another country prone to earthquakes. It’s almost a hundred-year commemoration of the Great Kanto Earthquake, which destroyed 44 percent of the urban area of Tokyo and some 74% of all households affected. Almost all the Tokyo’s old densely populated central areas were destroyed by the fire that followed the earthquake.

What happened in the Kanto region of Tokyo in 1923 was before the invention of disaster risk and mitigation study, the internet, and the zoom era. The next day after the great earthquake, the former Mayor of Tokyo, Goto Shinpei, was reappointed as Home Minister. During his last time as Mayor, he was once a sponsor of the capital modernization project. According to Andre Sorensen’s book The Making of Urban Japan, Goto proclaimed his goals as Home Minister: refusing the relocation of the capital city, an ambitious reconstruction program with a budget of 3 billion yen or about 45 billion yen in today’s worth, as well as implementing modern city planning.

Last month, a senior journalist from The Jakarta Post wrote that moving the Indonesian capital to East Kalimantan is urgent for the national security matter. He derived his argument from the recent 6.6 magnitude earthquake that its epicenter is located in the Hindia Ocean or 52 km from southwest Pandeglang. He also compared the government’s absence for the first few days after the tsunami and earthquake in Aceh back in 2004. Then he closed his opinion with fearmongering style sentence: “But if someday Jakarta is destroyed by a powerful earthquake, the nation may look back and appreciate his decision to go against the wishes of the majority. When that happens, the nation may want to rename Nusantara to “Kota Jokowi” (Jokowi City) or Jokowiville.”

Suppose it’s many things that we can learn from the Aceh tragedy in 2004. In that case, essential lessons are the importance of disaster risk management, including a tsunami warning system, strengthening the building code, creating resilient communities, and integrating disaster risk reduction into planning. Others also mentioned the importance of mangroves as nature’s defense against Tsunamis. None of them teach us to move out from a disastrous place.

The tragedy also has prompted serious attention from the Government of Indonesia and the international community in disaster management. Following up on the current situation, the Government of Indonesia issued Presidential Regulation Number 83 of 2005 concerning the National Coordinating Agency for Disaster Management (Bakornas PB). This agency has a coordinating function that daily implementers support as an implementing element for disaster management. The paradigm of disaster risk reduction finally became a significant concern at the national level. It led to the Disaster Management Law in 2007 and the birth of the Indonesia National Board for Disaster Management or Badan Nasional Penanggulangan Bencana a year after. If BNPB is already established and running back in 2004, we probably have a different turnout.

For national interest, the capital cities are subject to higher risks than any other city. Compared to other Chinese cities, Beijing is one of the most studied areas for earthquake risk. The US also developed a doomsday scenario-like policy called the National Response Scenario Number 1, which include 15 emergency scenario to impact the US, including Washington DC. Through the Community Risk Register, the city of London identified 60 risk scenarios and used by the London Resilience Partnership to prioritize resilience activities towards those risks judged to have a higher rating.

Each big disaster also produced new learning and innovation in education, mitigation, and adaptation. The 2008 Wenchuan earthquake in China leads to the “Build Back Better Plus” approach in policy and reconstruction projects by ensuring new and adapting old construction using higher seismic-proof standards. Now, China is also exporting its expertise in disaster risk reduction.

Japan has become one of the most advanced nations in disaster risk management, construction technology, and building resilient communities. After Hanshin Earthquake that hit Kobe, Hirokazu Nagata of +Art produced a series of manuals, education tools, and training that teach disaster preparedness. Thanks to the Japan Foundation, his tools and training are now widely known from the US to Indonesia. For more than 30 years, the Sumida ward of Tokyo has been practicing machizukuri, a community planning as a model project for upgrading housing conditions prone to disaster areas. Japan continues to learn and revise its policies progressively. The earthquake in 1948 led to the enactment of the 1950 Building Standards Act. Japan updated The 1950 Act after the Tokachi earthquake in 1968 and another revision in 1981.

Instead of building the new capital city after a series of great disasters and a world war, Tokyo now is the home of the Skytree Tower, the second tallest structure in the world that includes a central pillar attached to seismic dampers can absorb the energy of an earthquake. Despite the constant risk of disasters, Tokyo has been a frequent top five in the Economist Intelligence Unit’s Safe Cities Index since 2015 until today. Tokyo held first place in 2015, 2017, and 2019.

No region in Indonesia is a safe haven from natural or man-made disasters. With the climate crisis ongoing, the risk is getting immense and unpredictable. We can choose to learn to build back better or mitigate the risk regarding these conditions. We can also learn things and get inspired by many progressive cities and nations prone to disaster to addressing problems. One can also turn risks into strength. One can adapt and build better and stronger. But running away is never an option.

Mengenang Rasdullah

Pak Rasdullah, saat orasi di aksi JRMK untuk mendorong agar Anies Baswedan menolak turut serta dalam pencapresan (Juli 2018, dokumentasi pribadi).

Saya tidak ingat kapan pertama kali bertemu dengan Pak Rasdullah, seorang aktivis dan pebecak di Jakarta Utara. Mungkin 1 dekade lalu? Atau lebih? Tapi rasanya kapan pertama kali berjumpa itu tidaklah terlalu penting untuk diingatkan. Yang penting adalah kenangan atas apa yang diperjuangkan bersama.

Setelah lama tak berjumpa, sekitar awal tahun 2017, saya kembali sering bertemu dengan Pak Rasdullah, untuk urusan kontrak politik antara Jaringan Rakyat Miskin Kota, PKL, penghuni rusun dan SEBAJA (Serikat Becak Jakarta) dan salah satu kandidat Gubernur DKI jelang Pilkada 2017. Tuntutan SEBAJA itu cukuplah sederhana, yaitu: “Pemberian izin operasi terbatas terhadap profesi pengayuh becak di wilayah permukiman dan pasar tradisional melalui revisi Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum”. Selama berdekade-dekade memang becak-becak di Jakarta seakan menjadi musuh bersama modernitas, diburu oleh Satpol PP dan Gubernur-gubernur DKI serta dibuang ke laut untuk menjadi rumpon agar penguasa biasa mancing dengan puas dan dapat banyak ikan.

Kandidat Gubernur tersebut akhirnya menang Pilkada DKI 2017. Ini bukan kali pertama Pak Rasdullah dan kawan-kawannya berkontrak politik dengan salah satu kandidat Gubernur DKI. Pernah juga di tahun 2012, namun kontrak di 2012 tak ada satupun yang terpenuhi. Bahkan yang tadinya menjadi “mitra” bagi Gubernur DKI di era 2012-2014 tersebut, mendadak “dimusuhi” oleh penggantinya di era 2014. Gelombang penggusuran paksa pun melanda Jakarta, termasuk kepada yang dijanjikan keamanan bermukim.

Pak Rasdullah suka bercerita dan bernyanyi, dan suaranya pun bagus sekali. Dia juga suka bergoyang sambil nyanyi. Waktu saya kerap masih rapat jaringan, kadang selagi saya menunggu rapat mulai, saya suka ngobrol ngalor ngidul bersama warga, dan salah satunya dengan Pak Rasdullah. Dia bercerita banyak, tentang suka duka tinggal di dalam becak, komentar lucunya soal pengalamannya jadi bacagub indepeneden di era Sutiyoso, hingga kedekatannya dengan salah satu Gubernur DKI: “saya dititipi sama ibunya Gubernur utk jaga Pak Gubernur.” Termasuk pengalamannya untuk kerap mijetin kaki atau pundak si Gubernur tersebut.

Pak Rasdullah sendiri mengorganisir sekitar 16 kelompok pebecak yang tersebar di seluruh Jakarta, terutama Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Terlepas dari kekejaman sekian dekade terhadap pebecak, becak tetap ada di Jakarta – dan karena memang ada yang membutuhkan. Karakteristik konsumennya pun sesuai dengan layanan yang diberikan becak, ibu-ibu yang pulang dan pergi dari pasar, orang yang ingin hindari rob di Jakarta Utara, hingga langganan menjemput anak sekolah, serta membawa dan mengirim barang dagangan pada kawasan tertentu. Pak Rasdullah sendiri juga menjadi pengantar gas elpiji 3 kg dari Kampung Akuarium ke tempat lainnya.

Walau kontrak politik JRMK (dan SEBAJA) ditandatangani April 2017, dan kandidatnya menang, ternyata perwujudan kemanan berusaha bagi kelompok SEBAJA itu tidak mudah. Polarisasi politik pun tak terlalu membantu, yang ada harapan SEBAJA agar becak dapat beroperasi secara terbatas malah jadi ejekan -seakan jadi pelampiasan dendam politik elektoral. Ada sekitar 3000an pebecak yang beroperasi dan tergabung dalam jaringan SEBAJA. Mereka ada, dan mengharapkan mereka berubah profesi – sementara pasar masih ada, adalah bentuk lain ketidakpedulian dan ketidakmampuan memahami ekonomi informal.

Pak Rasdullah memahami betul tantangan dan kelebihan becak. Becak harus bersaing dengan ojek online – sementara tukang becak terlalu “miskin” atau tua untuk pindah profesi ke ojol, cicil motor hingga belajar memakai aplikasi. Pebecak, seperti layaknya semua pelaku ekonomi informal pada kaum miskin kota harus dan bertahan hidup dari hari ke hari. Tidak ngebecak hari ini, belum tentu bisa makan besok.

Jangan ragukan kemampuan orasi dan berkomunikasi Pak Rasdullah. Dia pun bisa dengan lancar dan fasih menyebutkan keunggulan becak, sebagai alat transportasi dan barang yang berbasis sosial, membantu perempuan, anak dan manula, serta tanpa menghasilkan pencemaran udara. Becak bukan sekadar alat transportasi, tapi ada jalinan sosial dan kepercayaan yang muncul antara pebecak dan pengguna/langganannya. Beliau bisa menceritakan dengan lancar bagaimana becak membantu ibu-ibu hendak melahirkan untuk keluar dari jebakan rob di Muara Baru.

Tak jarang juga Pak Rasdullah menggunakan istilah merakyat yang mengundang senyum. Suatu hari, jelang peluncuran (wacana) becak listrik di akhir 2018, Pak Rasdullah dengan sumingrah dan sambil tertawa menjelaskan harapannya akan masa depan becak, yaitu becak online cepat dan irit, yang beliau sebut sebagai be’ol cepirit. Langsung aja itu jadi viral dan sebagai mencela. Padahal ada harapan yang dititipkan oleh Pak Rasdullah pada peluncuran tersebut. Yaitu agar becak menjadi relevan dan tetap menjadi salah satu solusi mobilitas pada kawasan tetentu, dan yang pastinya agar hidup pebecak menjadi lebih pasti dan sejahatera.

Mewujudkan harapan Pak Rasdullah dan SEBAJA pun sangatlah sulit. Apalagi imaji becak yang seakan antitesis dari modernitas (alon-alon asal kelakon tapi sampai) hingga ada yang mendadak “political correct” menuduh profesi pebecak adalah tidak “manusiawi”. Saat SEBAJA mulai bergerak, ada yang mendadak mengungkit2 Perda Ketertiban Umum 8/2007 seperti Kepolisian – perda yang menjadi momok dan penggusur banyak orang miskin. Perdebatan soal Perda tersebut bisa diikuti disini. Mendadak jadi pemuja ketertiban begitu berhadapan dengan becak. Padahal di masa krisis iklim seperti ini, mendadak becak menjadi sangat relevan dalam upaya pengurangan emisi. Tentu keberadaan dan operasionalisasi becak perlu dikontekstualisasi dengan kondisi permukiman. SEBAJA juga tidak pernah mengungkapkan keinginan agar mereka boleh beroperasi di jalan tol atau jalan Sudirman. Entah imajinasi liar yang mengira bahwa ada rencana entah siapa membanjiri Jakarta dengan becak.

Saya beberapa kali terlibat dan diminta hadir dalam rapat-rapat SEBAJA dengan Dinas Perhubungan pada akhir 2017 dan awal 2018. Sebelum bisa memungkinkan operasionalisasi becak pada kawasan tertentu, Pemerintah via Dishub meminta untuk identifikasi dan tahu betul berapa jumlah becak yang beroperasi di Jakarta, dan dimana saja. Upaya pendataan pun dilakukan bersama antara SEBAJA dan Dinas Perhubungan.

Pak Rasdullah, berbaju hitam dan duduk di samping Mas Gugun (baju kuning), ketika rapat bersama Dishub untuk membicarakan lokalisasi becak dan pendaataan (Januari 2018, dokumentasi pribadi)

Setelah lewat Januari 2018, saya tidak terlibat lagi dalam rapat-rapat tersebut, karena kononnya sudah ada pihak yang mau membantu lebih intens. Namun saya masih kerap bertemu dengan Pak Rasdullah dan beberapa rekan SEBAJA pada berbagai acara-acara kampung lain, entah itu yang di Kampung Rawa hingga kampung-kampung lain.

Seragam SEBAJA, yang mereka buat tak lama setelah pendataan (Januari 2019, dokumentasi pribadi)

Pada akhirnya kondisi becak di Jakarta pun tidak serta merta mengalami peningkatan. Becak online bertenaga surya/listrik harapan Pak Rasdullah pun tidak/belum juga terwujud di Jakarta. Mungkin hanya jadi prototype. Sempat ada wacana, selain di kawasan permukiman tertentu, maka becak juga bisa beroperasi di kawasan wisata – namun sampai sekarang belum juga terwujud.

Malam kemarin, setelah saya selesai nonton Business Proposal episode terakhir, saya mengintip whatsapp dan ternyata di grup jaringan ada berita duka cita. Pak Rasdullah sudah berpulang. Bahkan saya tidak tahu kapan beliau sakit, tahu-tahu sudah berpulang saja. Pandemi 2 tahun terakhir ini memang “menjauhkan” hubungan saya dengan teman-teman JRMK (ditambah lagi saya memang tidak pernah pakai Facebook lagi). Baru saja tahun lalu, Pak Kastowo, koordinator PKL (Pelabuhan) Sunda Kelapa meninggal juga.

Sebelum bisa mengetik balasan dan bereaksi atas berita tersebut, saya mengingat dan berrefleksi tentang hubungan pertemanan saya dengan Pak Rasdullah. Rasanya hampir setengah hidupnya itu penuh perjuangan, terutama untuk sesamanya. Apakah kini para pebecak nasibnya lebih baik, saya tidak tahu juga? Saya khawatir bahwa saya mengecewakannya, karena tidak bisa membantu dengan maksimal untuk mewujudkan harapan dan mimpinya, sampai dia berpulang.

Selamat jalan Pak Rasdullah, ke petualangan berikutnya. Semangat terus menyanyi dan bercerita seperti sudah-sudah. Istirahatlah dalam damai.

Kota baru itu bukan mainan Lego

Saya dan anak saya suka bermain Lego dan Sylvanian Families, bahkan saat umur saya sudah lebih dari 40 tahun ini. Saya rela membawa Lego Architecture Studio seberat hampir 3 kilogram berpindah 3 kota-kota di Amerika via kereta api, sebelum akhirnya saya poskan. Salah satu favorit saya adalah seri Lego City; sementara anak saya mulai bosan dengan Lego Friends nya, sudah 1 tahun ini beralih ke Sylvanian Families. Intinya sama, kami berdua bisa membangun kota dan rumah sendiri, menata semaunya, memadu-madan. Buat saya pribadi itu adalah hal yang menyenangkan, kenapa, karena saya tahu kota baru yang semalam jadi itu hanya ada di Lego atau Sim City. Itupun untuk kasus Lego dan Sylvanian Families lumayan menguras kocek.

Orang biasa seperti kami tak akan mungkin membangun kota baru. Jikapun ada kota seperti Shenzhen, itupun memerlukan upaya 1 negara sebesar China untuk berhasil, dan tidak terjadi dalam 1 malam melainkan butuh waktu minimal 3 dekade untuk mulai menampakkan hasil nyata.

Tapi masih saja ada orang-orang yang percaya dan seakan mencoba peruntungan dengan menyatakan kalau kota yang baru akan bernasib seperti Dubai dan Shenzhen, sesuatu yang dengan senang hati saya bantah. Bahkan harian seperti Kompas pun masih percaya bahkan Indonesia bisa membangun Shenzhen dengan memanfaatkan hubungan kerja sama dengan Cina yang konon saling mendukung. Sungguh pandangan yang optimis, hampir berbau wishful thinking.

Untuk mengurangi optimisme yang berlebihan, terutama dalam rangka menyambut rencana utopia Presiden yaitu Ibukota Baru, maka saya ingin berkisah tentang keputusan yang baru diambil oleh Great London Authority, yaitu mengirimkan peringatan terakhir untuk pemutusan kontrak kepada developer pengembangan Royal Albert Dock yaitu ABP (London) Investment Ltd. Royal Albert Dock adalah pelabuhan tak terpakai di East London. Sementara ABP Investment adalah developer dari Cina yang dipimpin oleh Xu Weiping, eks PNS kota Zhejiang RRC yang banting setir jadi developer kelas menengah yang mengembangkan proyek kompleks bangunan “Silicon Valley Beijing” di pinggiran Beijing.

Jika ditarik ke asal muasal sampai adanya proyek itu, mungkin bisa ditarik mundur ke pencalonan London sebagai tuan rumah Olimpiade 2012. Lokasi terpilih adalah sebagian besar East London, dengan membawa “harapan”, proyek-proyek Olimpiade dapat mendorong kesejahteraan East London yang tertinggal dibandingkan bagian London lainnya. Tentu saja “harapan” Boris Johnson, walikota London saat itu, sesungguhnya kamuflase untuk pengambilalihan aset publik untuk privatisasi, yang diwarnai maraknya pengusiran. Pasca Olimpiade pun juga membawa penghancuran lebih banyak hunian sosial, meningkatnya gelandangan hingga pembersihan kelas sosial.

Royal Albert Dock di East London pun demikian. Berdiri di abad 19, dan lama terbengkalai. Satu tahun setelah Olimpiade London, Boris Johnson menandatangani perjanjian kerja sama senilai 1 milyar poundsterling (coba berapa banyak nol dalam Rupiah?) dengan investor Cina, yang kemudian membentuk ABP (London) Investment Ltd., untuk mengembangkan Royal Albert Dock menjadi CBD London yang ketiga. Keputusan tersebut dinilai sangat kontroversial, sampai mendorong fraksi Partai Buruh di London Assembly untuk mengadakan penyelidikan independen, terlebih pasca ada temuan kolusi antara London & Partners (Dinas Promosi London) dengan ABP si pemenang kontrak. Namun pada akhirnya Boris Johnson mengabaikan penyelidikan tersebut. Rangkuman temuan kolusi tersebut dapat dibaca di sini.

ABP menjanjikan bahwa mereka dapat menyelesaikan pengembangan 14 hektar Royal Albert Dock dalam tempo waktu 8-10 tahun. Janji lain adalah tempat tersebut akan menjadi pusat bisnis baru yang menghadirkan berbagai firma dari Cina dan Asia, serta mampu membawa investasi sebesar 6 miliar pounds dan mendatangkan 20.000 lowongan pekerjaan baru. Walikota mana yang tidak “kesirep” melihat janji seperti ini? Terlebih walikota seperti Boris Johnson, yang baru saja merasa di atas angin pasca keberhasilan London 2012.

Sebagian publik London juga meragukan Xu Weiping yang bisa dinilai pemain baru di properti, bisa berani dan berambisi di Royal Albert Dock. Financial Times mensinyalir bahwa Xu adalah anak buah Wang Qishan, orang kuat di Partai Komunis. Apakah Xu proxy dari PKC? Entahlah. Saya sendiri pernah mencoba mencari lebih lanjut informasi tentang ABP, tapi hanya ada informasi di laman Linkedin atau laman gugatan ketenagakerjaan terhadap perusahaan tersebut.

Fase 1 dari total 6 fase. Hanya fase ini yang baru terselelsaikan di 2019. Foto dari The Guardian.

Enam tahun pasca kontrak tersebut, ternyata ABP hanya baru membangun 1 dari 6 fase, itupun hanya gedung kantor 7 lantai dengan luas total lantai sekitar 52 ribu m2. Bloomberg di tahun 2020 bahkan menyebut tempat tersebut sebagai kota hantu. Investigasi terkini dari The Guardian juga menemukan bahwa hampir tidak ada pekerjaan berarti sejak 2019, bahkan beberapa firma terkait diduga berada di ambang kebangkrutan. Holding ABP yaitu Dauphin (yang juga dikuasasi oleh Xu Weiping) konon berusaha mencari tambahan dana. Perusahaan lain yang juga dikuasai Xu Weiping dan terlibat dalam pembangunan, pun gagal bayar cicilan kepada bank hingga senilai 99 juta pounds.

Xu sendiri di 2019 banyak berkelit ketika ditanya media mengenai lambannya proses pengembangan, dia menyalahkan Brexit yang membuatnya harus mengubah rencana pemasaran. Terlepas dari rencana bahwa target penanam modal maupun calon penghuni adalah firma dari Cina dan Asia.

Cina memang menjadikan Shenzhen sebagai portfolio dan barang dagangan. Mereka berjualan konsep Special Economic Zone dimana-mana, terutama di India dan beberapa negara Afrika. Caranya bisa berupa kerja sama antara swasta hingga pemerintah dan swasta. Baik India dan Afrika sama-sama mengharapkan hadirnya investasi dari Cina. Begitupun Boris Johnson dan Dewan kota, mereka pun berharap pada penanaman modal dari Cina untuk kesuksesan pengembangan Royal Albert Dock. Namun 9 tahun setelah penandatanganan kontrak, London hanya mendapatkan kota hantu serta tanda-tanda pemutusan kontrak dengan ABP di Maret 2022.

Masih yakin dan mengharapkan hubungan baik dengan Cina akan mempermudah pembangunan kota baru? Mungkin ini adalah contoh anekdotal, namun saya bisa dengan mudah memberi contoh wilayah baru maupun kota baru yang gagal berkembang. Apakah layak kita berjudi dengan ratusan triliunan uang publik dan ratusan triliun aset publik di Jakarta? Sekali lagi, kita tidak sedang membangun Lego.

Gagal Paham dalam Urbanisme

Saya mungkin beruntung. Sekitar pertengahan tahun lalu, dalam pencaharian artikel tentang kota global, saya menemukan ulasan buku The Shenzhen Experiment dalam salah satu jurnal. Setelah membaca ulasan sekitar 6 halaman tersebut, saya langsung tertarik mencari bukunya via saluran tidak resmi, dan akhirnya mendapatkannya dari saluran resmi.
Mengapa saya tertarik? Ada 2 alasan. Ulasan buku tersebut mengingatkan saya pada pengalaman “menonton” Biennale pertama saya, yaitu 1st Shenzen Biennale of Urbanism and Architecture di tahun 2005. Kedua, saya merasa bahwa The Shenzhen Experiment adalah soal pembongkaran mitos beredar tentang bagaimana Shenzhen bisa jadi seperti sekarang. 

Kalau saya tidak mempunyai pengalaman datang ke Shenzhen Biennale edisi perdana, mungkin saya masih “buta” tentang apa saja yang ada di Shenzhen. Dalam Biennale tersebut juga menampilkan kampung kota (urban village) yang memang ada di Shenzhen, sekaligus juga menjadi pengantar akan keterpesonaan dan keterkejutan orang-orang Cina terhadap perubahan cepat dalam kota-kota mereka. 

Sementara buku The Shenzhen Experiment, walau saya baru membaca sekitar 4 bab, membukakan mata saya dan sekaligus secara total membongkar mitos tentang Shenzhen dalam hal miskonsepsi tujuan pembentukan Shenzhen, sejarah kota dan pengembangannya, lokasi serta pihak/orang. Akibat membaca buku itu, misalnya saya akan terhindar dari menulis twit seperti ini

Image

 

Dari Shenzen yang dahulunya padang rumput dan dari Dubai yang dulunya padang pasir, demikian tulisnya. Bahkan Jakarta pun dulunya adalah rawa dan kebon, sementara Seoul yang peradabannya dapat ditelusuri hingga 4000 SM, sebelum jadi permukiman hanyalah dataran banjir tepi Sungai Han. Tapi dalam ilustrasi twit tersebut, hanya menampilkan perubahan spektakular Seoul dalam 100an tahun, dalam rupa tampilan bangunan-bangunan. 

Semua cerita, berbeda

Rangkaian twit dari Gubernur Jawa Barat tersebut muncul setelah orang gak penting mengeluarkan komentar bahwa lokasi tempat pindahan Ibukota baru berada di Kalimantan adalah tempat jin buang anak. Untuk menangkis itu, selain menampilkan ilusi bahwa kota seperti Dubai dan Shenzhen berasal dari kekosongan, Gubernur Jawa Barat juga menampilkan semacam asuransi: “semua ceritanya sama” – seakan semua kota yang tadinya kosong itu akan bernasib sama, seperti Shenzhen, Dubai, Abu Dhabi dan Seoul.

Dalam berbagai situs pemerintah, misalnya ini, Ibukota baru direncanakan sebagai pusat pemerintahan. Walaupun memang dalam situs ikn.go.id, dapat terlihat bahwa ada ambisi menjadi ibukota baru sebagai pusat industri tertentu, superglobalhub, hingga pusat pendidikan. Dan kemungkinan besar, lahan IKN adalah benar lahan kosong, setidaknya eks lahan hutan produksi. Atau setidaknya mirip dengan Canberra, ibukota Myanmar yang saya selalu lupa namanya, dan Brasilia: tanah “kosong” (Sebetulnya soal “kekosongan” masih bisa difafifuwasweswoskan lagi – tapi sementara pembahasan kali ini terbatas dalam konteks kota dan urbanisme). 

Shenzhen selama ini selalu dinarasikan sebagai “desa nelayan” berubah jadi metropolis dengan hamparan tower, yang dimulai dari “titah” sentralistik dari Deng Xiaoping untuk membentuk Special Economic Zone. Sementara narasi Dubai adalah permukiman padang pasir terbelakang, lalu ada perintah dari Emir saat itu untuk mengembangkan di tengah menurunnya cadangan minyak Dubai. Padahal, di luar dari “padang pasir kosong”, Dubai sudah mempunyai sejarah panjang perdagangan, misalnya mutiara dan tekstil dengan Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan. Keluarga terpandang di Dubai pun membangun ekonominya bukan berbasis minyak seperti Abu Dhabi, melainkan dari perdagangan. 

Pada narasi Shenzhen juga muncul bahwa Shenzhen tidaklah punya sejarah – atau disebut generic city oleh Rem Koolhaas. Klaim ketiadaan sejarah tersebut seakan jadi rumus, bahwa nantinya kota akan “mudah” untuk dibentuk sesuai dengan maunya penguasa. Jadilah kisah 1001 malam, tentang “keajaiban kota dari tanah kosong”, yang semua ceritanya (seakan) sama. 

Twit itu seakan-akan menganjurkan, “tenang saja, semua (ibu)kota (baru) pasti akan bernasib seperti slide show yang saya tampilkan. Bakal penuh dengan gedung-gedung tinggi.” Padahal apakah demikian? Dan apakah benar semudah itu? 

Mitos Special Economic Zone (SEZ) atau Free Economic Zone ini memang seksi dan “penting” untuk tetap terpelihara, mengingat “produk” ini begitu menggoda terutama bagi negara berkembang di belahan bumi selatan yang sama-sama pernah merasakan nasib mirip Cina di era 1960-70an: populasi tinggi, rural, miskin serta “terbelakang”. Seperti layaknya orang berharap kaya semalam dari spekulasi saham, maka Shenzhenisasi dan Dubainisasi juga perjudian yang dilakukan Negara agar bisa membalikkan keadaan. Hingga tahun 2006 saja, ada 3500 SEZ tersebar di 130 negara – atau tumbuh hingga 4x lipat dari pertama kali Shenzhen didestinasikan menjadi SEZ. Dan Cina sendiri turut mempromosikan sekaligus menanamkan modal (serta memberikan utang) pada bermacam SEZ di berbagai negara tersebut. Karena itu penting sekali mempertahankan mitos 1001 malam Shenzhen sebagai salah satu jualan dan ekspor Cina terutama dalam menempatkan dirinya sendiri di percaturan global. Di Cina pun, tidak semua Shenzhenisasi berhasil. Shantou, yang sama-sama menjadi SEZ dalam dekade berikutnya serta berupaya mengambil manfaat kedekatan geografis dengan Taipei, tidaklah berhasil dalam mengusung diri sebagai SEZ. 

“Rumus” keduanya, Dubai dan Shenzhen beda, dan keduanya punya sejarah, dan memiliki konteks geopolitik serta keunggulan regional yang berbeda. Keduanya dihuni oleh orang-orang yang berbeda dengan sejarah panjang. Yang jelas, ceritanya berbeda – walaupun keduanya sama-sama diungkit oleh kebijakan neoliberalisme. Dan 3500an kawasan pengikut SEZ pun belum tentu punya nasib sama – lihat saja Batam.

Simplifikasi berlebihan ini sebetulnya menyesatkan sekaligus yang kerap menghantui atau “mengispirasi” para perencana di Bappenas dan Kementerian PU untuk terus berjudi dengan pengembangan kota-kota baru. Dengan harapan, kota baru tersebut siapa tahu akan menjadi Shenzen kedua, Dubai ketiga, dan sebagainya – termasuk di IKN ini. Harapan sama yang kerap digantungkan oleh developer, ya minimal dengan memulai menaruh ikon-ikon mirip dengan kota global lain – entah nasibnya bakal sama atau tidak – ya itu tidak relevan. Dan simplifikasi berlebihan ini adalah mitos, yang perlu segera ditangkis – agar tidak terjerobos pada jebakan mimpi. 

 

Shenzhen, dari kabupaten menjadi metropolis

Hal yang banyak tidak diketahui dari Shenzhen (dahulu namanya Kabupaten Bao-an) adalah kabupaten yang terdiri dari 2000an desa yang sejarah panjangnya bisa dirunut hingga era Three Kingdom. 2000an desa itu tidak bisa mentah-mentah direduksi jadi 1 kampung nelayan. Terlebih dalam Pearl River Delta, sudah ada pelabuhan Chiwan yg punya sejarah hingga era Dinasti Tang. Revitalisasi Chiwan dan tandem dengan kawasan industri baru turut berkontribusi pada pesatnya kemajuan Shenzhen. Dubai pun jika ditarik lebih jauh, berada pada kawasan yang menjadi bagian jalur Maritime Silk Road. Karenanya perkembangan Dubai tidak bisa dilepaskan dari pengembangan Pelabuhan Jebel Ali – yang kini adalah pelabuhan tersibuk no 11 di dunia (dan Chiwan sebagai bagian dari Shenzhen port ada di urutan 4). 

Pembangunan infrastruktur awal Shenzhen dimulai dengan menghadirkan puluhan ribu tenaga kerja yang tentunya membutuhkan tempat tinggal. Dan mereka ditampung di desa. Rumah para petani berubah cepat menjadi padat dan tinggi untuk menampung para pekerja gelombang pertama. Dan akhirnya desa cepat berubah menjadi sekitar 300an urban village – atau kampung kota. Ini tak ada bedanya dengan kisah bagaimana kampung kota Jakarta (Batavia) yang dulunya juga didominasi oleh kebon, harus menerima begitu banyak migran yang datang tiba-tiba setelah Jakarta tumbuh pesat. Jadi ya, cerita Shenzhen ada sedikit mirip dengan Jakarta. Bahkan bagaimana cara kampung kota Shenzhen mengorganisasi struktur ruangnya sekilas mirip dengan bagaimana Kampung Rawa Belong yg beraal dari petak kebon berubah menjadi Palmerah – lengkap dengan jaringan jalan bak pematang sawah dan rumah kos 100 pintu.

Kini, masih ada sekitar 300an kampung kota di Shenzhen, yang berdiri di atas 10% wilayah Shenzhen, namun menampung 50% populasi kota Shenzhen. Orang-orang ini adalah migran dari berbagai desa dan kabupaten di seluruh Cina, datang untuk memperbaiki nasibnya dan inilah yang menjadi pondasi suksesnya Shenzhen sekarang. Siapa yang membangun dan siapa yang bekerja di pabrik? Merekalah yang tinggal di kampung kota ini. Jadi sesungguhnya sebagian kisah Shenzhen adalah bak Jakarta on stereoid.

Serupa dengan Jakarta, peran kampung kota Shenzhen pun sengaja dihapuskan dan tidak diungkit sama sekali sebagai bagian dari kisah sukses. Baru di Shenzhen Biennale 2005 tersebut peran kampung kota mulai mencuat. Saking berusaha disembunyikan, pemerintah menganggap kampung kota sebagai tumor, yang harus dilenyapkan. Di 2005 Pemerintahnya malah meluncurkan kampanye penghancuran seluruh kampung kota. Toh “unplanned” neighborhood ala kampung ini tidak cocok dengan imaji dan mitos Shenzhen sebagai kota terrencana baik. Baru pada 2015-6, pemerintah kota berubah pandangan dan mulai mengakui kontribusi serta akhirnya mulai melakukan pendekatan lain – walaupun masih tetap kontroversial. Di 2017, tema Shenzhen Biennale pun mengkhususkan diri pada kampung kota/urban village ini

Kampung Kota Nantau di Shenzhen, dengan latar belakang menara-menara metropolis

Majunya Dubai pun ternyata didahului dari pembangunan 2 hub besar yaitu pelabuhan dan airport (beserta maskapai). Selain pelabuhan logistik dan kontainer yang sangat besar, Dubai memanfaatkan kesempatan dengan membeli rencana airport dari penguasa Qatar – yang saat itu terpaksa membatalkan pembangunan airport karena ditolak masyakarat Qatar. Fokus kebijakan pada logistik, hub airport untuk bisnis dan pariwisata, perdagangan (Dubai juga mengembangkan kompleks pameran terbesar di Timur Tengah sejak 1979) serta real estate sejak dini, menjadikan Dubai melesat lebih dari kota-kota Timur Tengah lainnya yang masih berkutat pada pembangunan berbasis minyak. Itupun butuh waktu hampir 30 tahun, untuk memanen buah kebijakan dalam rupa kota metropolis yang “fantastis”. 

Sudah jelas cerita Shenzhen dan Dubai berbeda, tentunya berbeda dengan IKN. Shenzhen bisa megah berkat tak hanya “sentralisasi” kekuatan ekonomi-politik, tapi juga migrasi besar-besaran yang ditopang oleh keberadaan ribuan desa yang terurbanisasi kilat, didukung oleh lokasi strategis yang historis, sejarah panjang permukiman, hingga momentum dan kesempatan. Jika pun ingin menampilkan contoh untuk IKN dari sesuatu yang kosong lalu jadi “ada”, maka tampilkanlah “Ibukota-baru-Myanmar-yang-saya-selalu-lupa-namanya”, ibukota-ibukota kabupaten pemekaran dan provinsi yang bersebaran di Indonesia, serta bisa sana sini tampilkan Canberra dan Brasilia. Toh sama-sama ada bangunannya – tanpa peduli dia sukses (thrive) tidak sebagai kota. Dan malah bisa jadi ceritanya sama. 

 

Mitos “Didesain untuk Ibukota”

Simplifikasi dan mitosisasi kota itu sebetulnya bentuk kegagalan orang dalam memahami apa itu kota. Kota sebagai permukiman dengan konteks geografis dimana terjadi hubungan sosial, ekonomi, politik, dan budaya antara orang-orang dan komunitasnya. Sudah pasti otomatis kota adalah “messy”, hasil negosiasi antara berbagai kepentingan. Mengharapkan segala sesuatu bisa didesain dan direncanakan seluruhnya adalah utopia para perencana – tapi pada kenyataannya ruang terus menerus dinegosiasikan. Perencana utopis juga biasanya juga tak mampu melihat peranan manusia dan infrastruktur rakyat (people infrastructure) dalam menavigasi dan bersiasat, entah itu lewat kampung kota maupun ekonomi informal. 

Klaim Gubernur Jawa Barat, yang entah kenapa seminggu terakhir ini makin sambat aktif mengomentari IKN, juga menyebutkan bahwa Soekarno memulai wacana pemindahan. Dan bahwa Jakarta tidak pernah didesain sebagai ibukota. Sesungguhnya mitos Sukarno dan pemindahan ibukota ini sudah dengan baik dijawab oleh sejarawan JJ Rizal, jadi Gubernur tinggal membacanya untuk mengisi hal dan informasi yang terputus, agar reproduksi mitos Sukarno dan pindah ibukota bisa berkurang. 

Sementara, pernyataan bahwa Jakarta tidak pernah didesain sebagai ibukota pun adalah sesuatu yang menyesatkan, melepaskan diri dari konteks sejarah, dan sekaligus menafikan urbanisme dan pembentukan kota. Dalam sejarah kolonial, Batavia mengalami perencanaan, penataan, pembangunan dan perombakan dalam rangka statusnya sebagai ibukota Dutch East Indies. Dari peletakan bangunan, kanal, jalan dan plaza hingga pembongkaran tembok kota dan pemindahan serta pembangunan pusat baru.

Jakarta sama seperti Paris, London, Tokyo, Seoul hingga Berlin, yang sebelumnya sudah menjadi kota dan permukiman kota sebelum status ibukota melekat padanya. Untuk kasus London dan Paris misalnya, sebelum menyandang status ibukota, keduanya telah lebih dulu menjadi kota terbesar pada masing-masing peradabannya. Washington DC, Canberra, Brasilia dan beberapa ibukota lain negara memang sengaja didesain sebagai kota pusat pemerintahan – tapi itu tidak menafikan bahwa ada banyak ibukota lain yang “memang tidak pernah didesain sebagai ibukota”. Lagipula sebetulnya apa itu desain ibukota?

Menggunakan kata “desain” dan menempelkannya pada ibukota sebetulnya menafikan proses pembentukan kota dan urbanisasi itu sendiri. Ibukota juga adalah “status” – bukanlah “bentuk”. Status ibukota tersebut memang mewarnai produksi ruang yang turut menjadi bagian lapisan sejarah pembentukan kota. Kota bukanlah produk akhir, dia terproduksi terus menerus. Menurut Jo Santoso, sejarawan kota dari Universitas Tarumanagara, Jakarta memiliki 5 lapisan sejarah yang mewakili masa-masa berbeda, termasuk era Orde Lama dan Orde Baru. Pada Jakarta, terbentuk juga citra dan idealisme menurut pemimpin masa itu. 

Tokyo pun tidak direncanakan sebagai ibukota. Dia menjadi ibukota sebagai bagian dari perjalanan panjang sejarah Jepang, termasuk perubahan dan dinamika kekuasaan. Gedung parlemennya, atau Diet berdiri di atas lahan eks tempat tinggal Daimyo klan Kishiwada. Terbentuknya bangunan dan kompleks pemerintahan di Chiyoda – serta relasinya dengan Imperial Palace pun terkait dengan Restorasi Meiji, dimana tanah-tanah daimyo kembali kepada Kaisar untuk akhirnya dikelola oleh Negara. 


Reproduksi mitos kota sesungguhnya mematikan kemampuan analisa dalam mengenali apa dan mengapa suatu kota berbeda dan ada yang lebih besar dari yang lain. Ceritanya tidak akan pernah sama. Jika ceritanya hanya soal tanah kosong yang dibangun menjadi penuh bangunan, tentu saja itu sudah keniscayaan. Ibukota-baru-Myanmar-yang-saya-selalu-lupa-namanya itupun penuh dengan bangunan, nampak “cantik” jika difoto dari mata burung. Jika uangnya adapun, Ibukota-baru-Myanmar-yang-saya-selalu-lupa-namanya pun bisa membangun menara 100 lantai. Namun apakah dia akan menjadi Seoul, Dubai, Abu Dhabi, atau Shenzhen – tunggu dulu – ceritanya beda. 

Mengapa Pemerintah sampai mengurusi kos mahasiswa?

Siang tadi ada jurnalis Kompas menghubungi saya untuk meminta komentar atas rilis terkini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dalam rilis, Kementerian menyebut telah menyelesaikan 7075 unit rusun pada tahun anggaran 2021 untuk memenuhi hunian layak bagi masyarakat. Total blok rusun yang terbangun dengan skema multi year contract dan single year contract adalah 196 blok. Nah yang menarik adalah ketika melihat lebih jauh rincian dari 196 blok tersebut.

Dari 196 blok rusun terbangun, 136 blok rusun diperuntukkan untuk asrama sekolah agama dan perguruan tinggi. Sementara 41 blok untuk Anggota TNI/Polri dan ASN, dan baru 17 blok untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Jadi sesungguhnya hanya 17 blok, atau hanya 8% dari total blok terbangun saja yang benar-benar untuk masyarakat umum. Jika memasukkan keluarga TNI/Polri dan ASN, itupun porsinya tak sampai 30%.

Jika melihat “rusunawa” mahasiswa dan pelajar ini sebetulnya tak beda dengan bangunan kost di Palmerah Jakarta, yang bisa mencapai 100-200 pintu. Bahkan unit kost rusunawa ini dihuni oleh 2 dan 4 orang, dimana tiap kamar berisi tempat tidur tingkat, meja belajar, kursi dan lemari. Untuk kamar mandi, dapur dan fasilitas lain dipakai secara bersama-sama. Contohnya bisa dilihat disini.

Rasanya janggal memasukkan asrama/pondokan/kost sebagai capaian bahwa Pemerintah telah menyediakan hunian layak bagi masyarakat. Apalagi jumlahnya mendominasi dari capaian tahunan, di tengah negara yang punya backlog konon capai 11 juta keluarga.

Memang sudah 5 tahun ke belakang Kementerian mulai membangun kost rusunawa untuk lembaga pendidikan. Namun makin kemari, porsinya malah membesar – dan puncaknya tahun 2021 bisa mencapai 70% dari total terbangun. Bisa jadi lebih mudah membangun kost rusunawa, dan “lebih terjamin” karena sudah pasti ada lembaga yang mengelola (tidak perlu bikin UPT, P3RS dll), jadi bak low hanging fruit yang sangat rendah sampai sudah menyentuh tanah. Tapi sekali lagi, akhirnya orang yang benar-benar membutuhkan tidak terlayani secara maksimal – dan perhatian pun teralihkan. Anggaran musti diserap, maka bangunlah yang paling mudah dengan bentuk sama. Walaupun jauh melenceng.

Keheranan lain adalah tentang mengapa Negara (lewat universitas) malah masuk usaha kost-kost-an melalui penyediaan rusunawa ini? Misalnya untuk Universitas Sriwijaya yang beberapa tahun anggaran menerima kost rusunawa. Ada unit yang diprioritaskan untuk mahasiswa penerima beasiswa, tapi penerima beasiswa tidak tinggal secara gratis.

Selama ini penyedia kost adalah masyarakat yang memang membangun dan mengembangkan usaha dan aset di sekitar universitas berdiri. Misalnya ini hasil pencarian sederhana lewat Google Maps untuk kost di sekitar Universitas Sriwijaya. Ekonomi di sekitar universitas (atau di kota universitas macam Yogyakarta) tumbuh tak cuma dari penyediaan akomodasi sementara, namun juga dari warung, toko kelontong hingga usaha percetakan dan jasa cuci. Akhirnya uang dari mahasiswa, tak hanya dinikmati oleh Universitas dalam rupa uang kuliah/gedung/dll, tapi juga mengalir kepada masyarakat serta menghidupi masyarakat tersebut. Saya tidak bisa memahami kenapa Pemerintah malah mengambil pasar yang sudah disediakan masyarakat.

Sebaran kost di sekitaran Universitas Sriwijaya (kampus Indralaya). Belum termasuk dengan usaha kost yang tidak memasukkan nama/alamat pada Google Maps.

Jikapun Pemerintah ingin “membantu” pemastian hunian layak “sementara” bagi mahasiswa, maka masih banyak yang bisa dan perlu dilakukan, misalnya:

  1. Untuk kawasan baru macam Indralaya maka Kementerian bisa membantu membuat perencanaan kawasan untuk memastikan pembangunan dan pengembangan kawasan terjadi secara terrencana dan tidak boros lahan. Jika melihat citra di atas, terlihat sekali pertumbuhan kost dan usaha lain sporadis – seakan tanpa ada aturan perencanaan.
  2. Kementerian, bekerja dengan Pemerintah Daerah atau Universitas, bisa memastikan standar kost yang tersedia itu layak – termasuk mengalirkan subsidi/insentif dengan model kerja sama ataupun pengadaan langsung agar pemilik bangunan merenovasi . Apa artinya jika Kementerian cuma bangun layak sementara bangunan kost2an di luar Universitas belum tentu dipastikan kelayakannya?

Klaim penyediaan hunian layak bagi mahasiswa adalah salah kaprah dalam pemahaman tentang pemenuhan hak atas hunian layak. Begitu selesai kuliah, maka mahasiswa kehilangan huniannya. Jadi secara konsep penguasaan saja, kost rusunawa itu bukanlah pemenuhan hunian layak. Sebaiknya disebutkan sebagai pembangunan asrama – agar tidak mengalihkan perhatian pada apa sesungguhnya tugas negara dalam urusan pemenuhan hunian layak.

Ironi lain adalah mengingat Negara sebetulnya punya banyak potensi dalam pemenuhan hunian layak, yang lebih tepat sasaran dan bermanfaat sesungguhnya pada keluarga yang membutuhkan. Saya hanya memberi satu contoh. Aset Negara, yang tersebar dan kerap berlokasi strategis di dalam kota. Contohnya aset Kementerian Pekerjaan Umum di Penjernihan, Jakarta Pusat – hanya sekitar 2 km dari MRT Bendungan Hilir.

Alih-alih menyelenggarakan hunian tersebut agar terjangkau kepada kelompok keluarga tertentu (misalnya emerging middle class), KemenPU malah bekerja sama dengan pengembang – yang akhirnya malah rentan jadi obyek spekulasi dan finansialiasi. Bahkan kini pengembang tersebut didugat pailit oleh konsumennya. Otomatis makin jauhlah dari pemenuhan hunian layak.

Sejauh ini Pemerintah memang masih bingung sendiri tanpa konsep dalam urusan pemenuhan hunian layak. Rumah, yang notabene membutuhkan lahan – tapi begitu ada aset strategis sedikit, malah dikerjasamakan dengan pihak ketiga sebagai kerja sama komersial (entah apakah benar dihitung kerja sama tersebut “menguntungkan” Negara atau tidak). Lalu dari dana publik, Kementerian/Pemerintah malah membiayai sesuatu yang tidak memecahkan masalah sesungguhnya (contohnya: kost rusunawa mahasiswa).

Entah sampai kapan siklus ini terus berulang.

(Membentuk) Aktivisme Intelektual di Kota Kita

Tulisan untuk pengantar buku Merekam Kota dalam Pandemi.

New York, Musim Semi 1968. Ada pemandangan tak lazim di April 1968 di sekitaran Washington Square Park, Manhattan. Ratusan orang, didominasi oleh perempuan, berdemonstrasi menolak rencana pembangunan Lower Manhattan Expressway/LOMEX. Jalan bebas hambatan tersebut akan menembus jantung kawasan Lower Manhattan, dan akan menghancurkan sebagian Little Italy hingga Washington Square Park di SOHO. Perjuangan penolakan tersebut berlangsung cukup lama karena rencana pembangunan LOMEX tersebut muncul berkali-kali terlepas dari penolakan keras penduduk terdampak. 

Penolakan tak hanya terjadi di luar ruangan, juga terjadi dalam ruangan. Salah satu aktivis penolak LOMEX, Jane Jacobs, hadir dalam rapat dengar pendapat dan berupaya untuk menyuarakan protes dengan cara menyobek notulensi rapat. Tiba-tiba, sekelompok polisi berpakaian preman menarik Jane dari kerumunan dan menangkap serta pendakwahnya dengan tuduhan menghasut. Setahun kemudian, proyek kontroversial LOMEX dibatalkan, seiring dengan berbagai macam kejadian menyertainya. 

10 tahun sebelumnya, Jane aktif mengkritisi berbagai macam pembangunan yang terjadi di New York, misalnya pengembangan di Lincoln Center yang saat itu sangat populer dan mengundang banyak pujian di kalangan arsitek dan perencana kota. Pada tahun yang sama, Jane menerima hibah dari Rockefeller Foundation untuk menuliskan pandangan dan kritik terhadap perencanaan dan desain kota dan ruang publik di Amerika Serikat. Hasilnya adalah buku The Death and Life of Great American Cities yang sampai hari ini menjadi buku wajib di pendidikan Arsitektur dan Perencanaan Kota di berbagai negara (kecuali Indonesia). Jane sendiri tidak berlatar belakang pendidikan Arsitektur atau Perencanaan Kota, walau akhirnya dia bekerja cukup lama sebagai Penulis, Kritikus dan Editor di berbagai penerbitan, termasuk Architectural Forum

Jane Jacobs adalah contoh ideal seorang scholar-activist (akademisi aktivis) dan intelektual publik. Lewat buku dan artikelnya, Jane menulis untuk khalayak luas, bukan untuk sesama “ahli” dan peneliti saja. Tulisannya pun tentang hal-hal penting bagi publik. Namun Jane lebih dari seorang intelektual publik dan akademisi saja, karena perubahan yang terjadi tak hanya didorong oleh karyanya saja, melainkan juga melalui tindakan serta pilihan ideologis dalam tulisannya. Sebagai akademisi aktivis, gerakan bersama bagi Jane tak hanya soal menghentikan pembangunan jalan bebas hambatan saja, namun mampu mengubah cara publik melihat kota sebagai organisme yang hidup dan kompleks. 

Tanpa atribusi aktivis, seorang “scholar” atau akademisi diharapkan dan hanya menjadi penengah, kaum netral, obyektif, hati-hati bahkan “politically correct”. Bahkan sebagian besar tulisan akademisi di bidang ilmu sosial, politik dan geografi kerap diakhiri dengan kesimpulan “perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami lebih dalam”. Sementara aktivis cenderung mengamati anekdot, narasi dan hubungan yang terjadi pada suatu kasus. Ada aktivis yang mengabaikan tulisan akademis, namun ada juga yang memanfaatkan model dan olahan akademis untuk kemudian dinarasikan ulang berdasarkan konteks dan kasus yang mereka hadapi. Aktivis mengambil dan kadang memilih kesimpulan ilmiah sambil menciptakan cerita yang koheren yang dapat meyakinkan publik untuk bertindak. 

Akademisi aktivis bukanlah semata perpaduan antara akademisi dan aktivis. Namun ia lebih terpusat pada kemampuan untuk menggunakan ilmu dan pemahamannya untuk menentang “status quo”. Kemampuan untuk memadukan orisinalitas dan ketajaman pemikiran, sambil tetap membawa narasi kepentingan masyarakat dan kesejahteraannya, adalah suatu yang sangatlah jarang.

Cara Jane Jacobs melihat kota berbeda dengan kebanyakan perencana kota dan para ahli pada masanya. Dia berani mengkritisi Le Corbusier yang didewakan pada masa tersebut termasuk menentang serta mengkritisi Robert Moses, orang paling berpengaruh di New York sepanjang 3 dekade. Pemikiran kritis Jane dianggap kontroversial oleh Lewis Mumford, salah satu kritikus dan sejarawan kota dan arsitektur terbaik. Mumford dengan sengaja mengecilkan peran buku The Death and Life of Great American Cities sebagai “little yellow book” yang ditulis secara baper (bawa perasaan) kombinasi dari penilaian orang dewasa dan keluhan anak SD, seperti tertuang pada artikel yang dimuat dalam majalah New Yorker, Mother Jacobs’ Home Remedies. Di masa kini, judul tersebut dapat dikategorikan sebagai judul yang seksis. Kritik Mumford terhadap karya opus Jane tersebut malah dibalas oleh Jane dengan meminta Mumford terlibat dalam upaya penolakan pembangunan LOMEX.

Kota dan permukiman bagi Jane tidak sekadar soal kompleks bangunan, jalan dan lapangan. Tulisnya, “There is no logic that can be superimposed on the city; people make it, and it is to them, not buildings, that we must fit our plans”. Kritik Jane terhadap perencanaan kota moderen yang rasional memang masih relevan hingga saat ini. Jane menyaksikan penghancuran blok-blok permukiman yang hidup, padat dan beragam, untuk kemudian digantikan dengan blok-blok menara yang dingin. Ia juga menyaksikan bagaimana pelebaran jalan dan pembangunan jalan layang dan jalan bebas hambatan yang menembus kota justru mematikan kehidupan publik dan membuat penduduk kota lari ke pinggiran kota. 

Kota terjadi dan terbentuk karena hubungan ekonomi, sosial dan budaya antar penghuninya, sehingga menjadikan kehidupan kota rumit dan intens. Karena kerumitan dan kedalaman hubungan tersebut, seharusnya kota tidak diperlakukan sebagai “benda seni”. Estetika dalam taman kota yang indah dan warna-warni tidak akan ada gunanya ketika taman tersebut dipagari dan steril. Gedung dan permukiman tidak akan ada artinya ketika mereka dibekukan tanpa ada kemungkinan berkembang secara organik. Ketika menyangkut pada urbanisme, kota tidak bisa diperlakukan sebagai produk akhir, namun harus dipahami bahwa kota selalu dalam kondisi “work in progress”.

Dari Jane Jacobs kita bisa belajar 3 pendekatan yang selalu Jane lakukan dalam tiap karyanya, yaitu: observasi, analisa dan sintesa dengan selalu setia pada prinsip hubungan yang rumit serta mengedepankan kepublikkan. Mungkin di era kini dan dalam konteks Indonesia, Jane Jacobs bisa dengan mudah dilabeli sebagai SJW, atau “Social Justice Warrior”, mengingat Jane kerap dianggap melawan “establishment”. Namun keberadaan sosok seperti Jane malah dianggap aset kota bagi John Friedmann. Ide baru yang dibawanya justru mendorong kota berinovasi dan tidak terjebak pada rumus rasionalitas. Perbincangan dan diskusi yang muncul dari ide-ide baru tersebut mendorong pertukaran pikiran dan cara pandang yang dapat membuat kota semakin hidup. Friedmann menyebut kelompok ini sebagai “elit” yang dapat menjadi sumber pemikiran kritis yang memainkan peran penting dalam masa depan kota. Penggunaan istilah “elit” oleh Friedmann tersebut bisa jadi problematik jika dilihat secara gamblang. Tetapi “elit” seperti Jane Jacobs kerap berangkat dan membawa wacana dan kepentingan publik serta menjadikan publik sebagai sumber inspirasi dan pemikirannya. 

———

Selama kurang lebih 2 minggu penuh dan ditambah dengan 3 bulan proses penulisan, 43 orang menjadi peserta aktif dalam Sekolah Urbanis yang diadakan oleh Rujak Center for Urban Studies dengan dukungan Antipode Foundation. Ketika konsep tersebut disusun, saya membayangkan apa yang dibutuhkan seorang Jane sebelum dia menjadi “The Jane Jacobs”. Apa titik baliknya, apa yang dia saksikan dari jendela apartemennya di Greenwich Village, apa yang dia baca, apa yang dia obrolkan dengan ibu-ibu di sore hari saat dia melepas penat dari kewajiban menulis. Ekosistem apa yang dia butuhkan hingga dia bisa menjadi intelektual publik dan aktivis-akademis?

Sebelum menjadi Jane Jacobs yang kita kenal sekarang, dia adalah seorang urbanis sejati. Dia mengamati dan membaca hubungan-hubungan yang terjadi dalam kota, antara manusia dengan bangunan, antara kendaraan bermotor dengan pelebaran jalan, antara kemiskinan dan “slums clearance” sambil terus menempatkan manusia dan lingkungan hidup sebagai subyek utamanya. Dia dengan kritis tak hanya melihat lapisan kota masa kini, namun juga lapisan-lapisan sebelumnya. Saat masih bekerja di Architectural Forum, dia tidak pernah mengenakan kacamata kuda dan membatasi diri hanya mau mengkritisi soal desain dan langgam arsitektur saja, namun Jane melihat bagaimana dampak karya arsitektur terhadap kehidupan publik, termasuk dampak sosial dan ekonomi. 

Urbanis tidak hanya mempromosikan penggunaan sepeda saja, namun ia mampu melihat bagaimana jalur sepeda dapat berperan penting dalam mobilitas kota yang lestari, alat untuk meningkatkan inklusivitas kota dan sarana untuk mendorong “upward mobility” di bidang sosial dan ekonomi. Urbanis seharusnya tak hanya berhenti mempromosikan soal cafe unik kecil instagrammable yang mudah diakses dari trotoar, atau taman cantik, atau sekadar bicara soal pentingnya kedai lokal; tapi mengeksplorasi bagaimana ekonomi lokal dapat hidup secara inklusif dan tersinergi dengan kehidupan kota, terlepas dari siapapun pelakunya, baik itu seorang PKL atau millenial ibukota pengusaha kedai kopi. 

Urbanis mampu melihat dan menilai secara kritis kondisi kumuh permukiman di luar dari standar-standar yang ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah. Dia tentunya bisa membedakan antara kumuh sebagai kondisi dan tidak mencampurbaurkan kekumuhan pada bentuk permukiman “irasional”, irregular dan vernakular yang kerap ada dan terwakili melalui kampung-kampung kota. Dengan sensitif mungkin dia bisa menyibak korelasi dan kausalitas antara ketidakamanan bermukim dengan kondisi kekumuhan. Tentu dengan pasti dia bisa membedakan antara kepadatan (density) dengan kesesakkan (overcrowding). 

Bagi Henri Lefebvre, kota adalah Ouevre, karya seni akumulatif dimana didalamnya terjadi partisipasi kehidupan sehari-hari penghuninya. Karenanya penting ruang-ruang di kota tidak hanya dipahami dan dimaknai sebatas fungsinya saja, namun juga bagaimana partisipasi penduduknya dalam turut membentuk ruang dan masa depan kotanya. Ia menyadari akan pentingnya partisipasi, keterbukaan dan dialog. Dialog yang bukan hanya terjadi antara sesamanya, namun juga dengan berbagai pihak termasuk yang miskin dan tertinggal, perempuan dan anak-anak, manula serta kelompok disabilitas. 

Urbanis itu tidak eksklusif sebagai orang dengan latar belakang pendidikan dan keahlian tertentu. Seorang lulusan perencanaan perkotaan atau urban planning tidak otomatis menjadi seorang urbanis.  Pun berbeda dengan intelektual publik, yang bagi Friedmann adalah elit yang menjadi aset kota. Urbanis sesungguhnya adalah khalayak kritis yang bergerak untuk mendorong perubahan kehidupan kota menjadi adil dan lestari. Dia bisa saja kamu dan saya, kaum miskin kota hingga ibu rumah tangga, seorang arsitek atau akuntan. Jika pada akhirnya si urbanis bisa bertransformasi menjadi Sang Intelektual Publik, maka itu adalah bonus. 

Referensi

Jacobs, Jane. The Death And Life Of Great American Cities. New York : Vintage Books, 1992.

Mumford, Lewis. “Mother Jacobs’s Home Remedies,” New Yorker. December 1962.

Friedmann, John. The wealth of cities: Towards an assets-based development of newly urbanizing regions. Development and Change 38: 987-98, 2007.

Lefebvre, H., Kofman, E., & Lebas, E. Writings on cities. Cambridge, Mass, USA: Blackwell Publishers, 1996

Page, M., Mennel, T. Reconsidering Jane Jacobs. New York: American Planning Association, 2011.

Ketika saya berjalan kaki, bersepeda dan berTransjakarta

Bagi keluarga dan teman dekat, mereka bisa tidak percaya kalau tahu alat mobilitas utama saya adalah sepeda, jalan kaki dan transportasi publik. Keluarga dan teman dekat tahu kalau kedua lutut saya punya kecacatan sejak lahir, yaitu dislokasi habitualis pada patella. Sudah pernah operasi di tahun 1998-9, namun kembali lagi bermasalah.

Sampai awal tahun 2016 saya masih menggunakan mobil kemana-mana. Sampai suatu hari, di sekitar awal April, saya terbangun dan saat hendak pergi ke kantor di bilangan Kebayoran Baru, saya meminta suami untuk mengantarkan saya ke Halte Transjakarta. Entah apa yang ada di pikiran saya hari itu hingga mengambil keputusan seperti itu. Hari itu saya mulai rutin menggunakan Transjakarta – sampai pada akhirnya ketika tahun 2019, jumlah saya menyetir hanya sekitar 10 kali tahun itu.

Saya tidak tahu apa yang mendasari perubahan prilaku saya. Saya tahu kalau Transjakarta mulai ada perbaikan. Mungkin saja hal itu didorong dengan rasa iri saya yang selalu kena macet di Jalan Daan Mogot, sementara bus Transjakarta Koridor 3 melaju dengan santai, lancar tanpa hambatan. Mungkin juga di saat tanggal tua, namun saya harus mengisi Dex, serta mengeluarkan biaya minimal 500.000 dan harus mengisi lagi dalam waktu 3-4 hari. Sementara dengan durasi sama, Transjakarta hanya menghabiskan 21-28 ribu rupiah saja. Atau saya teringat pengalaman buruk, terjebak macet putaran balik di Kuningan untuk kemudian sulit mencari parkir, dan akhirnya telat rapat 1.5 jam – sementara jika berhenti di Halte Kuningan Barat cuma butuh waktu 10 menit berjalan ke tempat tujuan. Pada akhirnya, berkendaraan pribadi di kota yg punya ketergantungan akut pada kendaraan pribadi, justru malah mencabut kebebasan mobilitas saya. Setidaknya itu berlaku bagi saya.

Saya beruntung karena saat 1-2 bulan pertama saya menjajal Transjakarta tak mendapatkan hambatan berarti – dan bersyukur saja. Mendadak merasa tabungan bertambah, karena tadinya 15% gaji saya untuk transportasi, kini cuma butuh 2% saja. Karena itu, pelayanan Transjakarta harus konsisten sekaligus progresif – karena tiap hari pastinya ada pengguna baru. Pengguna baru mungkin hanya bisa memberikan kesempatan 2-3x. Jika dia punya kebebasan (finansial) dan pilihan lain sekaligus terkecewakan selama masa percobaan bersama Transjakarta, jangan heran kalau akhirnya dia kembali ke kendaraan pribadi dan enggan untuk mencoba lagi.

Namun karena masalah kedua kaki saya, saya kerap cerewet pada sarana-prasarana halte dan penyeberangan. Dari luar saya terlihat sehat dan “normal”, padahal tidak demikian. Butuh usaha dan keberanian – apalagi jika saya dalam kondisi super lelah, saya bisa tiba-tiba jatuh. Karena itu JPO Halte Transjakarta adalah “musuh” terbesar saya. Berikutnya adalah trotoar yang berlubang atau yang dikuasai parkir motor dan mobil. Bahkan lutut saya pernah dislokasi karena tersenggol mobil parkir. Sementara yang punya mobil mungkin cuek dan anteng-anteng saja saat merampas hak pejalan kaki.

Ketika saya berjalan kaki di tempat ramai, saya kerap menengok ke belakang. Kenapa? Karena takut ada orang yang menyenggol saya dan lalu saya jatuh. Apalagi saat trotoar tak ada dan terpaksa harus gabung dengan motor was wis wus.

Saat saya mulai percaya diri menggunakan Transjakarta dan jalan kaki (lagi), lalu saya memantapkan diri membeli sepeda. Karena pekerjaan, saya kerap keluar negeri – terutama ke Jepang. Impian saya saat itu ingin menjajal gang-gang dan jalanan Tokyo dengan sepeda. Saat itu 2017 akhir, suami pun entah kenapa tergerak membelikan sepeda mini untuk hadiah. Langsung saya belajar (lagi), walau dulu SD-SMP sempat gape gowes dengan sepeda balap warna pink. Maksudnya mau memperlancar, karena Januari 2018 pas ada agenda harus ke Kyoto selama 1 minggu.

Ternyata tidak semudah itu bersepeda di Jakarta. Setelah mampu melaju di jalan-jalan kosong kompleks, ternyata saat “praktek” saya menemukan kenyataan pahit. Keringat dingin terus mengalir ketika harus melaju dari rumah ke Gereja dan melewati banyak persimpangan dan belokan yang ramai. Diklakson berkali-kali oleh mobil dan motor karena saya dianggap lambat. Jarak yang hanya 6 km, akhirnya ditempuh hampir 1 jam – dan muka saya rasanya pucat dan lemas. Saya tidak ingat bagaimana saya bisa pulang selamat kembali ke rumah. Setelah itu sepeda saya tidak pernah digunakan – dan mimpi saya bersepeda blusukan di banyak kota-kota yang kemudian saya kunjungi pun akhirnya tak terpenuhi. Bahkan saat saya 3 minggu di Belanda, cuma bisa mupeng saja melihat orang-orang seliweran bersepeda.

Datanglah pandemi – yang mengharuskan kami sekantor WFH. Mendadak kompleks saya sunyi senyap. Jalanan yang tadinya menakutkan, menjadi lebih bersahabat. Akhirnya saya kembali memberanikan diri bersepeda. Singkat cerita, dalam tempo waktu 2 minggu, saya sudah lancar wara wiri, dan ke Gereja pun kini hanya butuh waktu 20-25 menit. Jalan sempit pun hayo, kalau diklakson ya tinggal menepi dikit. Saat WFH edisi pertama berakhir, kini saya beralih dari jalan kaki ke halte / diantar ke halte, menjadi bersepeda ke halte. Suami saya yang masih khawatir saat saya harus pulang malam, kadang turut menjemput dengan sepeda di halte. Kini, dari ke pasar, supermarket, main ke ipar, makan mie dll, semua dicapai dengan sepeda. Kami makin jarang menggunakan mobil. Sampai pada masanya, terpaksa pakai mobil daripada mobilnya mogok.

Image
Pinky dan Transjakarta, akhirnya berhasil juga!

Cara saya bersepeda pun sangat praktis dan sederhana. Tidak punya outfit khusus sama sekali. Baju yang saya pakai bersepeda adalah baju yang saya pakai sehari-hari. Saya gemar memakai gaun dan rok (setidaknya 2-3 tahun ke belakang), maka ya “kostum” gowes adalah rok dan gaun. Peralatan sepedapun sederhana dan esensial saja, yaitu lampu dan kunci sepeda. Adik saya berjanji membawakan panniers (tas sepeda) – namun karena pandemi tidak kesampaian juga. Akhirnya sepeda kuning saya kini punya pannier dari keranjang purun.

Image
Apapun jadi: keranjang purun Banjarmasin untuk pannier.

Ketika merefleksikan ulang, rasanya pilihan jalan kaki, sepeda dan naik transportasi publik kini menjadi pilihan alami bagi saya. Jika sebelum 2016 saya tidak bisa membayangkan diri saya berjalan dan naik bus, kini saya di 2022 tidak bisa membayangkan diri saya kembali “nyetir” kemana-mana. Saya juga bersyukur karena dengan melakukan 3 aktivitas tersebut, saya bertemu dengan berbagai mcam orang-orang di halte dan bus – kadang mendengarkan keluh kesah mereka. Sepeda dan jalan kaki pun membuat saya tetap fit. Pasca saya positif korona dan saat kapasitas nafas saya berkurang, saya kembali fit berkat rutinitas sepeda dan jalan kaki.

Kini, sejak ada jalur sepeda terproteksi, saya merasa punya kewajiban moral untuk menggunakan terus dan menunjukkan pada publik bahwa berpindah moda itu bisa dan memungkinkan. Kota seperti Jakarta punya keterbatasan ruang, dan setiap jengkal ruang adalah pertarungan dan pertaruhan, baik secara formal-informal hingga legal-ilegal. Keberadaan jalur sepeda terproteksi tetap perlu diperjuangkan – walaupun secara fisik sudah ada dan (kesannya) pasti. Karena ruangnya setiap saat bisa diambil alih dan akhirnya menjadi obsolete. Kini buat saya, jalan kaki, gowes dan naik Transjakarta bukan hanya soal mobilitas pribadi. Ini soal advokasi juga.

Apakah kamu juga punya kisah perubahan mobilitasmu?

10 Kesalahan dalam Program DP 0

Program DP 0 bisa jadi salah satu solusi perumahan, tapi hanya pada kelompok tertentu. Konsep tersebut tidak spesial amat, karena subsidi terhadap DP dan bunga sudah terjadi dalam program perumahan nasional, misalnya FLPP, SSB, BP2BT dan lain-lain (selamat meluncur ke berbagai singkatan tersebut). Ada perbedaan antara DP 0 dan FLPP, misalnya, dalam DP 0, campur tangan dan peran Negara dalam DP 0 lebih besar. Negara (lewat BUMD) turut terlibat dalam proses pengadaan tanah dan pembangunan. Program DP 0 setidaknya hanya bisa diakses bagi orang yang belum memiliki hunian, ini berbeda dengan Program FLPP.

Namun, kerap kali program DP 0 dilihat sebagai satu-satu2nya program pemenuhan hunian, sama halnya dengan program FLPP (SSB, dll). Program DP 0 hanya salah satu solusi yang sayangnya menerima perhatian terlalu banyak (dari hujatan sampai pujian) hingga pengalokasian anggaran terlalu besar (dibandingkan calon penerima manfaat). 

Saya coba jabarkan kesalahan dalam DP 0 yang sempat saya pikirkan di sesi pagi dalam kamar mandi. Sebetulnya bisa lebih dari 10, tapi lebih baik 1 jam berikut dipakai untuk makan siang. Berikut:

  1. Program DP 0 (dan program nasional seperti FLPP) memiliki kesalahan fundamental yang sama, yaitu menggunakan uang publik untuk memberikan subsidi terhadap barang privat yang punya kecenderungan untuk spekulatif.
  2. Program DP 0 tidak mempedulikan siapa pelaku terbesar dalam pengadaan hunian, yaitu rakyat sendiri. Sekitar 44% hunian di DKI masih dipenuhi secara swadaya. Mitra terbesarmu itu rakyat, bukan developer.
  3. Kesalahan nomor 2 berbuntut pada kesalahan lain, yaitu kesalahan dalam menentukan lokasi. Program DP 0 hanya terbatas pada BUMD dan developer mitra, dimana cara kerja mereka agar “profitable” mengharuskan mencari tanah luas dengan harga yang memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan. Dan dimana itu? Di “ujung dunia” tentunya. Atau kalau pinjam istilah Betawi: “Tempat jin buang anak”.
  4. Sasaran program adalah Masyarakat Berpenghasilan Rendah dengan kondisi tertentu (penghasilan di bawah 14 juta/bulan). Atau cocok disebut sebagai “urban majority” – kalau mengambil istilah dari Abdoumaliq Simone. Kombinasi dari kesalahan no 3, kebijakan bagi “urban majority” yang bertumpu pada kepemilikan rumah justru membawa pada kondisi “menjebak” penghuni untuk terpaksa tinggal di kawasan yang sesungguhnya tidak mereka inginkan (lebih memilih untuk pergi). Beban dari kondisi ini bisa berbuntut pada masalah ekonomi hingga psikologis. Mirip dengan kondisi keterpaksaan dimana millenials pekerja di Jakarta terpaksa membeli rumah 2-3 jam perjalanan dari Jakarta.
  5. Karena lokasinya jauh dari pusat kegiatan serta masih minim infrastruktur, anggaran publik kembali lagi harus keluar untuk pengembangan kawasan. Jadi 2 kali publik rugi. Rugi karena anggarannya dipakai utk subsidi kepemilikan individu (1), dan perlu nambah lagi untuk buat infrastruktur yang menunjang kepemilikan individu tersebut.
  6. Karena akhirnya unit tersebut dikuasai individu dan privat, jikapun nanti ada kenaikan nilai dari kawasan dan unit DP 0 maka yang menikmati adalah individu, dan bukannya publik.
  7. Buntut lain dari kesalahan no 2, pembangunan unit untuk Program DP 0 seakan-akan harus dalam jumlah besar. Dan bangunan tower tidak otomatis membuat harga unit murah dan jumlah unit lebih banyak. Memang 1 tahun ke belakang, Pemprov mulai membuka kemitraan pelaksana, tapi lagi2 dengan proyek-proyek serupa (yaitu dari developer atau Perumnas).
  8. Dan secara tata ruang malah banyak pembatasan terhadap bangunan tinggi pada lahan besar. Belum lagi dari berbagai peraturan bangunan gedung. Buntutnya (lagi2) mahal dan boros waktu, serta membatasi (lagi-lagi) jumlah pemain.
  9. Praktek DP0 tergantung pada pengadaan tanah yang rentan dengan praktek KKN. Ini sudah terbukti kan kali ini dengan masuknya kasus Sarana Jaya ke KPK? DKI kerap terjerat dalam praktek mafia tanah – apa tidak bosan jatuh pada lubang yang sama?
  10. Pemilihan jenis bangunan tinggi tidak mengindahkan kondisi psiko-sosial sasaran yang sebelumnya hidup di rumah tapak. Ini memperkecil kelompok sasaran. Tidak ada opsi untuk ketinggian bangunan menengah (4-6 lantai) yang sebetulnya cocok untuk menjadi pengantar perubahan gaya hidup hunian tapak menjadi vertikal.

Jadi harus dihapus? Tidak. Tapi perlu koreksi dan modifikasi. Upaya Pemprov DKI membangun kemitraan dengan developer di luar Sarana Jaya, bisa menjadi upaya koreksi – walau telat. Lewat kemitraan baru ini, Pemprov mampu membantu penyerapan suplai dan mengarahkan pada yang membutuhkan (dan tadinya bukan sasaran si developer). Tapi tetap tidak cukup.

Saya juga membatasi penilaian hanya pada konsep, pengadaan dan produksi. Belum masuk pada proses pengelolaan dan pemeliharaan gedung – yang pastinya akan banyak catatan.

Pemenuhan hunian layak di Jakarta tidak cuma sekadar membuat 4 dinding dan atap. Keamanan bermukim tidak sama dengan Kepemilikan Properti. Keamanan bermukim seharusnya berlaku bagi segala jenis kepenghunian, mulai dari penyewa, orang kampung kota, penghuni rusunawa, orang kost, hingga pemilik rumah. Sedihnya, hingga hari ini, Jakarta tidak memiliki Strategi Pemenuhan Hunian Layak. DP 0 jelas bukan Strategi, itu adalah Program.

Selama ini, prinsip “Lokasi, Lokasi, Lokasi” kerap hanya eksklusif digaungkan oleh developer. Seharusnya lokasi menjadi poin utama dalam program ini – bukannya membiarkan “mahalnya harga tanah” jadi komandan dalam program ini.

Sesunguhnya banyak kelurahan Jakarta yang strategis namun masih memiliki kepadatan rendah. Mahal? Ada cara untuk mengakali dan mengambil peluang dari kondisi tata ruang dan celah fiskal yang ada. Celah itu termasuk ke isu desain bangunan hingga model kepenguasaan. Dan plis deh, kalian itu Pemerintah, pembuat kebijakan.

Terakhir jangan cuma bermitra dengan developer saja. Bermitralah dengan rakyat sendiri.

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑