ketika saya membaca berita soal anak yang dibunuh, anak yang hilang diculik dijual, anak yang disia-siakan.

Saat saya melewati proses kehamilan, melahirkan, menyusui, mendekap, menghiburnya, berbincang-bincang serta menatapnya tertidur lelap, saya tahu ada yang berubah dalam diri saya dan semakin hari perubahan itu semakin besar.

Sebelum saya mengalami proses menjadi ibu dan saat menjadi ibu itu sendiri, perasaan saya saat membaca pembunuhan terhadap anak mungkin sama dengan saat saya membaca pembunuhan lain. Merasa ngeri terhadap pembunuhan, tapi ya hidup berjalan.

Namun setelah menjadi ibu, setiap saya membaca berita anak hilang, anak dibunuh ataupun menjadi korban kekerasan, saya selalu merasa hati tertusuk dan sangat tidak enak. Lalu tanpa bisa ditahan, langsung saya teringat pada anak saya sendiri. Bagaimana kalau dia hilang, diculik dan sebagainya. Dan saya tidak suka perasaan itu. Mood saya rusak seharian, tiba-tiba menguraikan air mata. Semakin berusaha mengacuhkan, namun kurang sukses seperti hari ini yang sukses tidak bisa berkonsentrasi.

Namun menyerah pada ketakutan hingga kemarahan pada pelaku yang mungkin tidak akan pernah saya temui, menurut saya adalah membuang energi. Ketakutan, kekhawatiran dan kemarahan tersebut harus diubah menjadi sesuatu yang produktif dan mampu mencegah munculnya Angelina-Angelina yang lain.

Masa depan dan perjalanan seorang anak tidak bisa serta merta diserahkan kepada orang tua dan keluarganya. Anak-anak adalah tanggung jawab bersama. Saya tidak tahu ganjaran apa yang semestinya ditimpakan pada pelaku kejahatan terhadap anak-anak. Saya juga tidak tahu bagaimana peran pemerintah dalam hal ini, apakah mereka harus siap intervensi dan mengambil si anak sebagai anak negara, atau peran yang lain.

Ada banyak kampanye kreatif dalam upaya mencegah kejahatan terhadap anak. Ada yang berusaha memberi informasi khusus terhadap anak hingga ada yang berusaha membangun kemawasan sosialStudi dari WHO mengenai kejahatan terhadap anak, menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di lingkungan yang memiliki moda sosial rendah, memiliki kerentanan lebih besar dibandingkan anak yang tinggal di lingkungan akrab dan bermodal sosial tinggi. Solusi yang ditawarkan WHO adalah solusi yang membutuhkan intervensi pemerintah, seperti kunjungan hingga pelatihan untuk orang tua. Hal-hal lain, seperti pelatihan bagi guru-guru untuk mengenali tanda-tanda kekerasan, serta tidak gagap ketika menemukan tanda-tanda tersebut dalam satu anak.

Secara jangka panjang, mungkin modal sosial dan komunitas adalah sesuatu yang ideal yang mampu mencegah kejahatan terhadap anak, setidaknya di tingkat awal. Namun yang saya tahu, anak-anak tersebut harus diberikan suara. Bagaimana caranya agar mereka yang demikian polos dan ketakutan untuk bisa bersuara dan meminta pertolongan, cara yang paling efektif itu yang harus kita cari bersama.